myspace codes
.:: Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ::.

Tuesday, October 30, 2007
Ibu, tunggu aku
Tiga minggu sudah hari yang fitri telah berlalu. Namun, gema takbir masih terngiang sampai saat ini. Pukulan bedug menggema menerobos kesunyian malam. Sayu-sayu melambai memanggil jiwa tuk kembali pada kesucian. Keriangan anak-anak memadukan malam yang siap dilampaui tanpa keheningan.

“ Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Laa ilaaha illallah Wallahu Akbar
Allahu Akbar Kabiro
Wal hamdulillahi katsiro
Wa Subhanallahi Bukratan Wa Ashila
Laa Ilaaha Illallahu La Na`budu Illaa Iyyah,
Muhklishina Lahud-din, Walau Karihal Kafirun.
Laa Ilaaha Illallahu wahdah,
Shadaqo Wa `dah,
Wa Nashara ` Abdah ,
Wa A`azza Jundahu Wa Hazamal Ahzaaba Wahdah.
Laa Ilaaha Illallahu Wallahu akbar
Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd “

Serentak jamaah Musholla Al-Huda pun membalas takbir

“ Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Laa ilaaha illallah Wallahu Akbar
Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd “

Begitu indahnya lantunan takbir dimalam itu, membuat ketenangan jiwa benar-benar berada pada puncaknya. Sejuk dan damai. Hingga kan abadi malam itu untuk menjadi kenangan terindah dalam setiap langkah kehidupan.

Disatu sisi. Imam bahagia jiwanya telah diantarkan pada malam itu. Namun disatu sisi, ada sebuah rasa yang membuatnya malam itu terasa berbeda. Entahlah, mungkin ini perubahan yang belum siap ia terima. Atau, kerinduan yang sangat hingga lupa siapa ia sebenarnya.

Malam itu, tak ada sentuhan sebelum melangkah mengumandangkan takbir. Tak ada kelembutan yang diraba dari jemari ibunya. Tak ada kesejukan yang terpancar dari senyum ibu. Semua, hanya bisa terbayang seolah ibu ada didepannya saat itu.

***

“ Imam, makan dulu baru berangkat ke musholla ya. Ketupatnya udah jadi “ terlihat ibu baru keluar dari dapur. Setiap tahun ibu selalu membuat ketupat dan sayur opor tanpa ayam, tapi rasanya tidak kalah dengan sayur opor yang beri ayam.

Kesejukan senyumnya telah meluluhkan hati imam. Ibu tahu, kalau imam sudah ikut takbiran bisa-bisa larut malam atau pagi baru pulang.

“ Wah, udah jadi ya bu ? Asik. Tumben bu sore gini udah jadi, biasanya nanti malam kalo gak pagi-pagi bu ? “ imam pura-pura bingung, tapi sebenarnya ia sangat senang.

“ Udah makan aja jangan banyak tanya, nanti ketinggalan shalat isya loh “ ibu tersenyum lantas masuk ke kamarnya.

Suasana redupnya lampu 5 watt di dapur tak membuat imam sulit tuk temukan ketupat dan sayur opor kesukaannya. Terlihat ketupat tergantung riang diatas sebatang bambu yang terikat tali keatas dikedua sisinya. Sedangkan sayur opor masih tersaji dan tertupup rapat didalam panci yang semua bagian luarnya hampir berwarna hitam pekat. Maklum, mereka tinggal didesa, ibu memasak hanya mengandalkan kompor alami yang bahan bakarnya dari kayu.

Bapak sudah lebih dulu pergi ke musholla. Tinggal imam yang sedang lahap memakan makanan kesukaannya dan ibu. Sedang, kakak satu-satunya tinggal di kota lain bersama suaminya.

“ Ibu, aku sudah selesai. Aku berangkat duluan ya bu “ terlihat ibu keluar sambil merapikan mukena beserta sajadahnya. Tak lupa imam mencium tangan ibu yang terlihat kasar dan mulai mengkerut.

“ Ya udah, nanti ibu nyusul ya “

Sarung dan pecipun dengan cepat disambar imam. Keriangannya telah membuat ia terburu-buru berlari menuju musholla. Usianya saat itu 10 tahun.

Diluar musholla anak-anak sudah mulai meramaikan. Ada yang sedang mengantri wudhu disumur sebelah musholla, dan ada yang sedang bermain kejar-kejaran sambil menunggu adzan isya. Semakin lama beberapa penduduk mulai berdatangan untuk meramaikan malam kemenangan.

Tak lama adzan isyapun berkumandang. Terlihat para jamaah yang masih diluarpun mensegerakan masuk ke musholla, temasuk anak-anak yang dari tadi asik bermain. Panggilan isyapun telah menggerakan sebagian warga tuk merapatkan shaf sebelum menggemakan takbir dimalam kemenangan.

“ Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Laa ilaaha illallah Wallahu Akbar
Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd “

Keramaian melantunkan asma-Nya telah dikumandangkan. Terlihat di shaf kedua imam duduk sambil melantunkan gema takbir. Bapaknya mulai bangkit dari shaf pertama dan beranjak pulang sejenak untuk menikmati masakan ibu. Iapun tersenyum kecil ketika melewati imam dan meraba kepala anaknya seperti biasa.

Setiap penjuru desa kini tak menyisakan kesunyian. Semua dihiasi takbir yang mengagungkan ke-Esaan-Nya. Anak-anak asik menabuh bedug musholla dan adapula yang berkeliling kampung sambil melantunkan takbir.

Malam itu benar-benar tercipta untuk sebuah kemenangan. Kemenangan bagi jiwa yang senantiasa harus terjaga dari hawa nafsunya dan kemenangan bagi raga yang senantiasa harus menahan lapar serta haus dahaga sebulan penuh dibulan ramadhan.

Malam semakin larut. Beberapa jamaah ada yang mulai meninggalkan musholla. Kini anak-anak mendapat giliran untuk melantunkan takbir. Termasuk imam. Malampun kini hilang dari kesunyian.

***

Tak terasa genangan airmata membasahi pipi. Lagu yang berjudul Ibu telah menemani lamunan imam dalam mengenang masa lalu. Menebarkan kerinduan yang sangat pada sosok jiwa yang penuh kelembutan. Bait demi bait terlantun bagaikan dorongan pada jiwa yang sedang merindu.

Walaupun telah terjadwal pertemuan itu akan dilaksanakan. Namun, imam merasa waktu begitu lambat berlalu. Kerinduan yang sangat telah membuatnya ingat akan dosa-dosanya.

Lebaran ini pasti sangat berbeda dibanding sebelumnya. Walaupun anak-anaknya jauh, namun setiap tahun salahsatu anaknya pasti kan pulang. Mencoba meramaikan suasana rumah yang bertembokkan anyaman yang tebuat dari bambu atau bilik. Dan yang terpenting, mengukir senyum bapak dan ibu.

Imam tak kuasa membayangkan dibalik anyaman bambu mereka merayakan lebaran kali ini hanya berdua. Sesekali tetangga datang untuk mengucapkan maaf lahir dan batin. Dan setelah itu merekapun pergi lagi. Mungkin mereka tersenyum sesaat ketika ditanya mengenai anaknya. Sambil menjawab “abis lebaran pulangnya”. Tapi apa mungkin benar-benar abis lebaran atau abis lebaran setelah berbulan-bulan ?.

Mereka sedang menanti kedatangan anaknya. Mungkin setiap saat mereka menatap pintu berharap anaknya segera datang. Mengucap salam. Tersenyum. Mencium tangannya. Dan memeluk tubuhnya dengan penuh kerinduan.

Mungkin diantara mereka bapak masih bisa menahan airmata kerinduan tuk berjumpa anaknya dihari kemenangan. Tapi siapa sangka, ibu tetaplah ibu. Kelembutan hatinya telah mengantarkan airmata untuk membasahi kulit pipinya yang mulai keriput.

Walaupun ibu sangat besar harapannya untuk melihat wajah anaknya dihari kemenangan. Tapi pengertiannya ia depankan demi menghargai keinginan anak-anaknya. Tak jarang dia mengorbankan kerinduannya demi anak-anaknya. Berharap ia hanya ingin melihat anaknya senang. Namun sebaliknya, kapan anaknya akan membuatnya senang ?. Kapan anaknya mengedapankan senyum sang ibu dibandingkan keinginannya ?.

Ibu. Tunggu aku. Gumam Imam. Aku kan segera mengucap salam di pintu masuk. Aku akan tersenyum ketika melewatinya. Aku akan mencium tanganmu yang penuh dengan kelembutan. Dan, aku akan memelukmu erat penuh kerinduan. Serta memohon maaf atas kekhilafan anakmu. Sampaikanlah jiwa dan raga ini pada mereka Ya Rabb. Amin.

Salam,

.:: arana al-fatih ::.
Jiwa yang sedang rindu sosok ibu
posted by arana (acep ruswana) @ 5:39 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 

Waktu Jakarta
About Me


Name: arana (acep ruswana)
Home: Cengkareng City, Jakarta, Indonesia
About Me: Ketika hidup bermasalah, dan keinginan susah dijawab, itu tanda-tanda bahwa Allah rindu kepada kita. Allah ingin kita kembali kepada-Nya, mendekati diri-Nya, dan memohon kepada-Nya. Manfaatkan energi permasalahan dan kesulitan, untuk menjadi bahan bakar yang efektif untuk mendekatkan diri kita kepada Allah. (www.wisatahati.com)

Inilah Karyaku
Links

    SundaBlog

Pengunjung
    World Web DirectoryFree Hit Counter
Komentator

Koleksi Bunga
=== Shoutul Harokah === )(.:: Bangkitlah Negriku ::.)(

Website and all contents © Copyright 2008 by .:: ARANA ::.