myspace codes
.:: Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ::.

Sunday, August 27, 2006
Bidadariku Bukan Untukku
Ah, cinta memang tak pernah pudar dari hidup ini. Ia datang tak diduga. Merasuk kedalam jiwa, memperkenalkan sebuah keindahan. Dikala itu sebuah kehidupan baru mulai mempresentasikan sebuah karya Maha Agung. Terlintas dalam benak keadaan-keadaan yang indah. Berpacunya waktu selalu menjadi perhatian. Disaat itu satu detik tidak memandangnya, waktu terasa begitu lambat berlalu.

Mungkin orang memandangku waktu itu masih kecil untuk mengenal kata cinta. Aku baru berusia 12 tahun dan baru lulus Sekolah Dasar. Tapi bukankah cinta tidak seperti sebuah acara. Disaat waktu sudah tepat. Cinta akan kita undang untuk datang. Cinta kan karunia Allah, jadi hanya Dia yang tahu kapan cinta akan menghampiri.

Ketika aku lulus SD, aku diterima di SLTP yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Ketika itu aku mulai merasakan sebuah kegundahan. Disaat pukul 9 malam, mata ini sudah jarang dihujani rasa kantuk. Hanya bayang wajahnya yang terus mengganggu malamku. Kesendirian ditemani lamunan sudah menjadi hobiku saat itu. Sebut saja Lia . Wanita yang telah mengisi ruang hatiku. Hingga aku termotivasi untuk lebih giat belajar.

Hari-hari kulalui sambil mencuri-curi pandang. Kebetulan dia satu kelas denganku. Dia duduk dibaris pertama. Sedang tempatku dua baris dibelakangnya. Posisi ini sangat menguntungkan bagiku. Aku bisa memperhatikan guru yang sedang menjelaskan pelajaran. Sekaligus aku bisa mencuri pandangan hanya dengan sedikit menggeserkan bola mataku. Sekali berlabuh, dua pulau terlampaui.

Sungguh dia bagaikan bidadari. Wajahnya cantik tanpa kosmetik yang menyelimuti diwajahnya. Rambutnya lurus, panjangnya sebahu. Kulitnya putih bersih. Tingginya tidak jauh berbeda denganku. Hanya lebih rendah dariku. Tinggiku saat itu 160 cm. Sungguh dia sudah termasuk kriteria wanita yang kuimpikan.

Setelah itu aku baru mengerti. Mengapa cinta bisa merubah segalanya. Disaat sebuah kengerian tak lagi mempengaruhi. Pengorbanan seperti pemberian yang begitu tulus. Keceriaan selalu menyapaku dipagi hari. Kelihaian langkah kakiku menuju sekolah begitu ringan. Hanya berharap hari ini aku masih bisa melihat wajah manisnya. Tapi, aku selalu berdo'a dalam setiap langkahku. Semoga dia mau menyediakan sedikit ruang istimewa dihatinya untuk menyimpan namaku.

Keriangannya didalam kelas membuatku semakin tertegun. Sungguh suatu pemandangan yang indah. Seandainya saat itu aku berada disampingnya. Mungkin aku berpikir, aku adalah lelaki yang paling bahagia didunia ini. Ah, cinta memang terkadang membuat suatu angan-angan yang berlebihan.

Aku belum pernah bertegur sapa dengannya. Mungkin karena sifatku yang pemalu. Selain itu aku kurang berani merekomendasikan diri untuk menyatakan rasa sukaku. Prinsipku saat itu, jika dia memang suka padaku. Suatu saat nanti pasti dia akan merasakan cintaku. Tapi, sampai kapan ?. Ah, biarlah waktu yang akan menjawabnya. Prinsip tetaplah sebuah prinsip. Sulit untuk disamakan dengan pandangan orang.

Walaupun aku tidak pernah bertegur sapa dengannya. Aku tetap mencari informasi yang berhubungan dengan dia. Entah itu dari teman lelakinya yang dulu satu sekolahan di SD. Hingga kabar anginpun kucuri untuk menambah data-dataku tentang dirinya. Semakin bermekarlah bunga-bunga dihatiku setelah mendapat sedikit informasi mengenai dia. Kuakui daya dorong cinta bisa membangkitkan semangat yang selama ini telah berkarat.

Waktu takkan selalu bersahabat. Suatu hari aku mendapati informasi yang membuatku sedih. Larut dalam keheningan malam. Rasa kantuk tak kunjung datang. Rasa lapar sudah tak lagi dirasakan. Hanya air mata yang menemaniku. Menemani untuk meratapi nasibku. Informasi itu seperti sebuah serpihan kaca yang berhamburan dihatiku. Mengiris dan terus mengiris. Sakit sekali.

Seperti biasa aku makan dikantin jika istirahat tiba. Tapi hari itu aku agak terlambat, karena aku harus menyelesaikan tugasku dahulu. Tanpa sengaja aku melihat Lia makan berdua dengan seorang laki-laki dikantin. Lahar panaspun tanpa dikomando mulai menyebar keseluruh hatiku. Mungkinkah ini yang disebut cemburu ?. Ah, segera kutepis kecurigaanku saat itu. Jangan percaya apa yang dilihat mata tanpa ada bukti yang nyata. Mungkin itu yang membuat hatiku sedikit tenang. Aku pura-pura bersikap seperti biasa. Seolah aku tak melihat pemandangan istimewa dikantin sekolah. Aku memesan makanan seperti biasa. Tapi, hati tak bisa dibohongi. Perut lapar yang sejak pagi menagih. Kini hilang seketika hanya dengan satu suap makan.

Setelah kejadian itu, aku sedikit kehilangan semangat hidupku. Bangun pagi selalu kesiangan. Sebab tiap malam aku selalu menanyakan lelaki itu pada bintang-bintang. Tapi mereka tak menjawab. Hanya terlihat kelap-kelip sinarnya. Tersenyum. Seolah mengejek ketidakberanianku yang terlambat mendapatkan sang pujaan.

Setelah kejadian itu, waktu istirahat sering kuhabiskan dimasjid samping sekolah. Kadang untuk menunggu bel masukpun kuhabiskan dimasjid itu. Ada sedikit ketenangan dirumah Allah. Didalam masjid aku terus menyesalkan prinsipku. Tidak mau terus terang sebelum dia yang mengatakannya. Hingga akhirnya ada lelaki lain yang telah mendahuluiku.

Air wudhu kubasuh pada bagian tubuhku. Segar terasa hingga seluruh jiwa. Mulai pagi itu aku bertekad tak boleh terus-menerus larut dalam kesedihan. Aku harus mengadu pada sang pemilik hati ini. Mencoba meminta sebuah jawaban. Dan membimbingku mencari jalan pemecahan dari masalahku.

Dalam sujud sengaja waktunya kulebihkan. Tetes demi tetes butiran matapun tak lagi terelakan. Kuresapi gerakan demi gerakan dalam shalat pagiku. Padahal sebelumnya aku tak pernah sekhusyu ini. Ada sebuah kenikmatan dalam setiap gerakannya. Mungkin karena aku sedang bersedih. Sajadah kini basah dengan air mata kesedihanku. Setelah selesai shalat 2 rakaat, kutengadahkan kedua tanganku menghadap langit-langit masjid. Seperti seorang pengemis yang meminta sedikit rejeki pada orang yang berlebih. Kini tanganku berharap mendapatkan pemecahan masalah pada Dia yang Maha Bijaksana.

Ada sebuah ketenangan dihati ini. Kewajiban yang selama ini sering bolong. Sedikit demi sedikit kutambal supaya mulus.

Suatu siang. Tanpa sengaja aku shalat berjamaah dengan lelaki yang kulihat berdua dengan Lia dikantin waktu itu. Aku sempat ragu dengan penglihatanku. Tapi tetap saja dia walaupun aku kucek-kucek mataku. Tapi, tumben dia shalat zuhur berjamaah dimasjid. Batinku dalam hati. Astaghfirullah kok aku merendahkan orang lain. Shalatkan sudah kewajiban. Bukannya bersyukur. Segera kutepis pikiran-pikiran setan yang selalu berupaya menjerumuskan pada kenistaan. Siang itu aku shalat zuhur berjamaah dengannya. Terasa sebuah kekesalan yang tertahan dihati ini. Dia telah mengambil hati sang pujaan.

Usai rincian acara shalat zuhur selesai. Dia menegurku dari belakang,
" Hei.... " dia menepuk bahu kananku. Hay, hey, emang nggak ada panggilan lain apa ?. Kan bisa salam. Aku hanya membatin. Kupalingkan wajahku kebelakang.
" Apa ? "
" Gue mo ngomong sesuatu ama lu. Bentar aja " dia mengajakku duduk diteras masjid
" Ada apa sih ? "
" Eh iya kenalin dulu, nama gue Harry. Gue kelas 2. " ooo...dia kelas 2 toh. Pantes. Aku membatin.
" Kalo ga salah lu kan satu kelas sama pacar gue yah ? "
" Iya, terus kenapa kalo satu kelas ? " aku bicara sekenanya, tak peduli dia kakak kelasku.
" Katanya ada tugas kesenian yah, suruh apaan sih ? "
" Oo... disuruh bikin kaligrafi bismillah tapi bentuknya bintang "
" Eh bilangin ma dia mau dibikinin ama gue ga gitu ? "
" Kenapa ga bilang aja sendiri " dia langsung diam sejenak. Sepertinya terlihat ada masalah dimatanya. Mungkinkah mereka sedang bertengkar ?. Ah, buat apa aku mikirin dia.
" Gue minta tolong ama lu kali ini aja " kedua tangannya bertemu dan menempel didada seperti orang yang bersemedi. Wah aku paling tidak bisa menolak deh kalau begini caranya. Apalagi dia mintanya dengan nada suara rendah dan memelas. Siapa yang tega ?. Akhirnya aku sanggupi juga permintaannya. Walaupun hati kecilku menolak.

Akhirnya, aku diberi kesempatan juga untuk bicara langsung dengan sang pujaan. Tapi, kenapa kesempatan itu datang disaat kuterluka ?. Kenapa pertengkaran mereka tidak terjadi disaat hati ini sedang mengharapnya ?. Dikala dia berduka, aku menjadi sebuah penolong kesedihan hatinya. Menjadikanku obat penawar untuk membalut luka hati. Ah, hidup memang penuh dengan misteri. Selalu meninggalkan sebuah kebingungan. Tapi aku bersyukur diberi kesempatan untuk bisa bicara dengannya.

Ringan langkahku dari masjid. Kupercepat langkahku karena waktu istirahat hampir selesai. Terlihat dia sedang duduk berdua dengan temannya dikelas.
" Sorry ganggu nih, Lia gue boleh ngomong sebentar ga ? " entah kenapa rasa grogiku hilang tidak menyapaku.
" Ngomong apa ?
" Mmm.. kita bisa ngomong berdua ga ? " temannya menatap kami berdua secara bergantian.
" Ciee....baru nih, mau ngomong masalah dari hati kehati yah ? Ok deh gue ngerti kok, gue cabut dah " akhirnya dia pergi meninggalkan kami berdua didalam kelas setelah dia meledek kami. Wah gimana nih kalo jadi gosip.
" Mau ngomong apa ? " pertanyaanya membuyarkan pikiranku. Dia menatap wajahku penuh dengan kebingungan.
" Tadi gue ketemu Harry, katanya mau ga lu dibuatin tugas keseniannya ama Dia ? " dia diam seribu bahasa. Wajahnya berpaling dariku. Sama seperti Harry.
" Kok diem sih ? Mau ga ? " aku bingung harus berkata apalagi. Bel masukpun berbunyi. Aku belum mendapatkan jawaban. Hanya diam.

Seserius itu kah pertengkaran diantara mereka. Hingga sulit mencari jawaban atas pertanyaanku. Aku harus bagaimana nih ? . Disisi lain dia adalah wanita yang selama ini kuincar. Sempat kuberpikir membiarkan mereka bertengkar hingga berlarut. Terus putus. Dan aku bisa masuk dalam kehidupan Lia. Tapi bodohnya, kenapa juga aku menyanggupi permintaan orang yang seharusnya menjadi sainganku. Pertengkaran terus berkecamuk dalam pikiranku. Sore nanti Harry minta jawabannya. Sedang Dia tidak tahu perasaanku sebenarnya.

Murid-murid sudah lengkap siap menungu pelajaran baru. Tapi, dari balik pintu tak kunjung datang orang yang dinanti. Akhirnya ruangan terasa seperti pasar. Perbincangan dimana-mana. Mulai dari persoalan pribadi yang terdengar pelan-pelan hingga tak bersuara. Sampai masalah pacaran yang dikisahkan oleh kelompok Ceriwis. Begitulah kelompok yang mereka namai dan terdiri dari 4 orang. Suara merekalah yang paling nyaring saat itu.

Inilah saat yang tepat. Terbesit dalam benakku untuk meminta jawaban yang terpending.
" Lia... " pelan kupanggil namanya. Namun dia asik ngobrol dengan teman sebangkunya. Hingga kupanggil untuk kedua kali. Dan diapun menengok.
" Apaan ? "
" Tadi gimana jawabannya ? " dia terdiam lagi untuk kedua kalinya. Hampir aku putus asa. Tapi aku harus mendapatkan jawaban.
" Lia, mau ga ? " aku terus memojokkan pertanyaan. Tanpa kusadari volume suaraku sedikit keras. Cukup terdengar oleh penduduk satu kelas. Dia menoleh kembali kepadaku. Lalu dia berkata dengan suara yang nyaring.
" Lu mau tau jawabannya ? Gue ga mau. Dan gue maunya sama lu " duarr. Dadaku terasa dipasang bom waktu yang telah lama menunggu peledakan tiba. Waktu telah habis. Dan kini telah meledak. Meluluhlantakkan hatiku. Aku terpana dengan kata-katanya. Saat itu aku tak menyangka dia akan mengatakan hal tersebut.

Suara bergemuruh mulai mengisi ruang kelas. Anak-anak mulai meledek kami saat itu. Terutama aku. Habis sudah wajahku dengan warna merah. Aku malu sekali diteriaki dan diledeki teman satu kelas. Aku hanya bisa diam terpaku menundukkan kepala.

Istirahat tiba. Aku langsung keluar dari kelas. Sendiri. Sebagian temanku masih meledek atas kejadian tadi. Namun aku mencoba bersikap biasa. Hari itu seperti biasa aku pergi kemasjid. Aku ingin merenungi kejadian tadi. Tanpa kusadari, saat itu ternyata Lia mengikutiku.

Aku buka gerbang yang tidak selalu dikunci. Belum sampai diteras masjid Lia memanggilku.
" Wan tunggu " dia menghampiriku. Kupalingkan wajahku kebelakang. Aku sedikit tak percaya sesosok wanita yang kusukai ternyata membuntutiku.
" Lia ? ngapain kesini? Ga kekantin ? " aku bersikap seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa.
" Wan gue mo minta maaf atas kejadian tadi. Gue ga tau kenapa gue bisa ngucapin itu. Kayanya ada sebuah dorongan yang membuat gue harus mengatakan itu. Gue ngerti momentnya ga tepat. Tapi gue ga tahan lagi " wah sigugup dateng nih. Aku bingung harus berkata apa. Rangkaian kata hilang seketika. Terbang bersembunyi dibalik awan. Mengintip kedua insan yang sedang kebingungan. Beberapa saat kami terdiam.
" Lia, sudahlah, mungkin lu lagi ada masalah " akupun pergi. Meninggalkan dia sendiri.

Terdengar suara yang membuatku merasa bersalah saat itu. Dia telah menangis dibelakangku.
Aku merasa keputusanku waktu itu salah. Tapi pada waktu itu aku langsung teringat kata temanku yang aktif diorganisasi Islam. Bahwasanya cinta itu jangan kita salahkan artikan. Dan jangan pula kita salahkan. Sebab yang salah bukan terletak pada cinta. Tapi pada pengaplikasian cinta tersebut. Kita cinta pada seseorang. Itu boleh dan fitrah. Tapi kalau kita harus melanjutkan dengan pacaran. Itu keputusan yang salah besar. Sebab pacaran bukan wadah untuk mencurahkan rasa cinta. Yang ada hanya dosa menyertai. Kecuali mereka telah melewati gerbang pernikahan.

Konsekuensi dari sebuah kata cinta itu sangatlah besar. Ketika kata itu terucapkan dari mulut kita. Pada saat itu pula sebuah pengorbanan dituntut demi orang yang kita cintai. Sebuah perlindungan harus kita berikan agar orang yang kita cintai merasa aman. Kasih sayang dan perhatianpun harus tercurahkan padanya. Semuanya itu dijalani dalam keadaan kita sering bertemu atau bedampingan berdua. Dan jika tak mau menodai hakekat cinta. Maka menikahlah. Atau apabila tak sanggup. Berpuasalah. Itu lebih baik daripada pacaran.
Sadar atau tanpa kita sadari. Sesungguhnya ketika pacaran, kita telah sering melakukan kontak dengannya. Entah itu kontak mata secara langsung atau kontak kulit karena keseringan jalan berdekatan. Kesemuanya itu bukanlah hakekat sebenarnya cinta. Tapi semua itu hanyalah nafsu belaka.

Dua hari setelah kejadian didepan masjid. Aku harus pindah sekolah. Aku akan dipindahkan kesebuah kota tempat Bapakku bekerja. Dan itu adalah sebuah perpisahan dari cinta pertamaku. First love never die. Kan kubuktikan kata-kata itu ditempat baruku.Hal kepindahanku tak kukabari pada teman-temanku. Dan juga pada Lia. Aku tak mau melihatnya menangis untuk kedua kalinya. Biarlah aku yang menangis meratapi cinta pertamaku yang begitu tragis. Namun aku bertekad. Aku pergi untuk kembali. Menyatakan hakekat sebenarnya cinta. Padanya. Ya, hanya padanya.

Sebuah senyuman dipagi buta menyalami kepergianku pada sebuah bangunan yang masih kosong. Selamat tinggal sekolahku. Hatiku membatin.

***

8 tahun sudah dari pindahan sekolah dulu aku tinggal dikota ini. Kota yang penuh dengan fasilitas yang lengkap. Tapi ada saja sebagian manusia yang tidak menyadarinya. Entah itu sengaja atau tidak sengaja. Melihatnya dengan mata atau dengan nafsu. Tapi beginilah suasana kota yang kutempati hingga saat ini. Penuh dengan tanda tanya.

Selama itu pula aku tidak pernah berjumpa dengan Lia. Padahal aku sering pulang kekota itu. Tapi tak didapati Lia ketika aku melewati rumahnya. Setelah beberapa kali aku pulang kekota itu. Angin mengabarkan bahwa Lia sekolah SMU dikota lain. Dan bekerja dikota itu juga. Aku sedikit lega mendengarnya walau aku belum bisa menemuinya.

Beberapa bulan kemudian aku kembali kekota itu. Berharap padaNya semoga aku bisa dipertemukan. Aku ingin menjawab kebingungannya didepan masjid waktu itu. Aku ingin menjalin hubungan yang lebih serius. Aku ingin melamarnya. Gajiku saat itu cukup untuk kami berdua. Pikirku.

Alhamdulillah, setelah aku keluar dari SMK. Aku bisa bekerja walau harus nganggur terlebih dahulu selama 6 bulan. Aku bekerja disebuah perusahaan swasta dengan gaji diatas UMR ( Upah Minimum Regional ). Hingga terbesit dibenakku untuk melamarnya. Aku tidak lagi memikirkan untuk pacaran terlebih dahulu. Untuk mengenal kepribadian masing-masing lebih dalam lagi. Toh, yang pacaran sudah lama saja bisa kandas ditengah jalan. Sebab pacaran tidak menjamin hubungan akan kekal hingga jenjang pernikahan. Aku ingin menikmati indahnya pacaran setelah menikah. Seperti gambaran beberapa buku yang pernah aku baca.

Ternyata Allah berkehendak lain. Kepulanganku saat itu merupakan sebuah kesedihanku kedua kali dari dirinya. Aku mendapatkan kabar bahwa dia telah menikah sebulan yang lalu dengan rekan kerjanya. Lagi-lagi aku terlambat. Seandainya waktu kepulanganku diawal bekerja yang lalu aku meminta no teleponnya yang bisa dihubungi. Mungkin peristiwa tersebut tidak akan terjadi. Ternyata Allah mempunyai skenario sendiri untukku. Bidadariku ternyata memang bukan untukku. Dia bukan jodohku. Akupun kembali ketempat tinggalku dengan membawa kesediahan yang sangat mendalam. Hidupku kembali tergoncang.

Ya Allah. Kini aku semakin yakin akan kehendakMu. Orang yang begitu aku kenal belum tentu Ia adalah jodohku. Orang yang begitu dekatpun belum tentu menjadi jodohku. Kini, aku tidak meminta orang yang kukenal dan dekat denganku menjadi pendampingku kelak. Tapi aku berharap padaMu, berikanlah yang terbaik untukku. Dan sholehah. Amin.

( Semoga pernikahan kalian menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Amin )

salam,
arana
.:: dalam karya kubicara ::.
posted by arana (acep ruswana) @ 12:15 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 

Waktu Jakarta
About Me


Name: arana (acep ruswana)
Home: Cengkareng City, Jakarta, Indonesia
About Me: Ketika hidup bermasalah, dan keinginan susah dijawab, itu tanda-tanda bahwa Allah rindu kepada kita. Allah ingin kita kembali kepada-Nya, mendekati diri-Nya, dan memohon kepada-Nya. Manfaatkan energi permasalahan dan kesulitan, untuk menjadi bahan bakar yang efektif untuk mendekatkan diri kita kepada Allah. (www.wisatahati.com)

Inilah Karyaku
Links

    SundaBlog

Pengunjung
    World Web DirectoryFree Hit Counter
Komentator

Koleksi Bunga
=== Shoutul Harokah === )(.:: Bangkitlah Negriku ::.)(

Website and all contents © Copyright 2008 by .:: ARANA ::.