myspace codes
.:: Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ::.

Saturday, August 13, 2005
Desaku Yang Hilang
Minggu pagi menjelang ditemani hangatnya sinar mentari. Telihat suasana di sekitar tempat kostku masih sepi. Mungkin karena ini hari libur jadi masih banyak yang bermain di dunia mimpi. Tapi sebagian para remaja memanfaatkan hari libur ini dengan berolahraga lari pagi. Tujuan mereka adalah sebuah lapangan bola samping tempat kostku. Disana dekat pula dengan perumahan dan mall. Sehingga daerah stategis tersebut banyak dikunjungi. Tapi tidak termasuk aku. Mentari mulai meningkatkan kekuatan sinarnya. Aku masih asik dengan kegiatanku. Menonton televisi dengan acara kartun ditemani sarapan nasi uduk dan nyenyaknya temanku yang tidur kembali setelah shalat shubuh. Namun sebuah suara memanggilku dari luar. Kuberanjak pergi meninggalkan acara kesukaanku.Terlihat sesosok
lelaki yang tinggal didepan kostku bersebrangan dengan jalan setapak. Dia adalah teman kostku.

" Ini apa Dan ? " kuterima amplop pemberiannya dengan menerawangi amplop tersebut dengan tujuan untuk mengetahui isinya. Mudah-mudahan uang kiriman orang tua, kan lumayan untuk tambahan bekal kuliahku. Bicaraku dalam hati.
" Jum'at kemaren ada tukang pos titip ini buat lu. Sorry baru inget sekarang "
" Ooo...gak apa-apa lagi, justru gue yang harus bilang terima kasih "
" Ya udah gue pergi dulu yah " temanku pergi dengan senyuman yang khas. Pakaiannya rapi disertai bau harum yang masih tercium walau orangnya sudah jauh. Mungkin karena parfum bermerk, jadi tahan lama. Tapi dia mau kemana pagi-pagi begini ?. Kerumah pacarnya ?. Loh kok aku malah memikirkannya. Aku kan harus memeriksa isi amplop ini. Aku hanya bergumam sambil sesekali melihat temanku yang hilang terhalang belokan gang. Perlahan kubuka amplop dikursi depan kamarku. Terlihat tulisan yang sepertinya pernah aku kenal. Yah bukan uang, sesekali ku bergumam dalam hati. Kucoba membaca tulisan itu dengan seksama.

Kepada
Sahabatku Andi
Ditempat


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Andi apa kabar ? semoga dikala kau membaca surat ini dalam keadaan sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT, amin. Semoga kuliahmu lancar dan cita-citamu cepat tercapai.

Andi, aku mengirim surat ini bermaksud untuk mengabarkan keadaan desa kita. Desa dimana kita dilahirkan. Yang mengajarkan kita untuk bersyukur dengan fenomena yang begitu indah hingga sulit diungkapkan dengan kata-kata. Pematang sawah yang luas terukirkan sebuah warna hijau yang menyejukkan hati ketika memandangnya. Deburan air sungai yang jernih disore hari ketika mandi beramai-ramai. Setelah itu kita menyaksikan sebuah karya
Maha Agung diufuk barat. Indahnya mentari senja dan sinarnya menghangatkan badan kita yang kedinginan setelah beberapa saat kita bermain air sungai. Andi semoga kenangan itu tak cepat kau lupakan.


Kupandangi langit yang masih berselimutkan awan pagi. Tergambar disana sebuah desa tempatku dibesarkan. Aku rindu. Rindu akan teman-temanku. Rindu akan suara kokok ayam yang menjadi jam wekerku. Rindu dinginnya udara pagi yang harus kupaksakan untuk menghadapNya. Rindu akan kicauan burung yang melepasku untuk pergi kesekolah. Aku benar-benar rindu.

***

" Andi, kamu sudah yakin dengan niatmu itu ? " kami duduk diteras musholla berdampingan sambil menunggu sang surya tiba.
" Aku sudah siap Mat, aku ingin melaksanakan amanah almarhum bapakku untuk menjadi Sarjana "
" Tapi kamu kan tahu kalau kota Jakarta itu kehidupannya keras, kadang tak mengenal belas kasihan. Mereka kadang tak lagi mengenal apa itu saudara. Aku khawatir kamu malah terjerumus dan menjadi salah satu dari mereka "
" Alhamdulillah aku masih punya sahabat sepertimu. Tapi insyaAllah aku akan selalu Istiqomah dan tolong bantu aku dengan do'a agar aku tetap Istiqomah dijalanNya " sejenak dia terdiam mendengar penjelasanku. Dan akhirnya dia mau mengerti juga dengan niatku.
" InsyaAllah " akhirnya dia tersenyum. Mamat adalah sahabatku dari kecil. Kami selalu bermain bersama, berangkat sekolah bersama, mengaji bersama karena kebetulan jarak rumah diantara kami hanya terhalang oleh satu rumah.

Mentari tiba dengan pancaran yang menghangatkan jiwa. Kicauan burung bernyanyi disela ranting yang berdaun hijau. Sahutan ayam jantan berkokok mengabarkan sang surya telah tiba. Para petani yang sudah menyiapkan perlengkapan dari shubuh sudah mulai menapakkan kakinya menuju pematang sawah. Cangkul mereka taruh dipundak kiri dibarengi tangan kanan yang menjepit sebuah kretek yang sesekali dia hisap. Tak lupa seorang wanita mengikutinya dengan membawa bakul yang digendongkan dibelakang. Sesekali mereka berhenti menegur sapa dengan petani yang lain.

" Andi udah yuk, nanti kita kesiangan berangkat sekolahnya " matahari memang sudah menampakkan seluruh badannya. Kami berlari kecil menuju rumah masing-masing untuk bersiap-siap dan selanjutnya belajar disekolah.

***

Kucoba menarik nafas sedalam-dalamnya dan kubuang dengan segera. Senyuman kuhadiahkan pada awan yang mulai memberikan jalan pada sang surya. Kilauan sebuah cahaya kini mulai nampak jelas sang raja siang telah kembali dari peraduannya. Perlahan kubaca kembali surat dari sahabatku.

Andi ternyata hidup tak sesuai dengan keinginan kita. Semua sudah ada yang mengatur dan kita tidak mempunyai kekuatan untuk merubahnya. Desa yang dulu penduduknya rata-rata rajin beribadah. Musholla dan Masjid selalu ramai dikunjungi ketika panggilanNya memanggil. Namun kini sepi tanpa ada kehidupan. Hanya segelintir manusia yang masih mau menginjakkan kakinya dirumah Allah. Semenjak ustad Hasan meninggal semua telah berubah.

Innalillahi wa innna ilaihi raji'un. Aku tak bisa membayangkan desaku tanpa seorang ulama.

Andi setelah meninggalnya ustad Hasan dan jarangnya tempat ibadah dikunjungi. Desa kita mulai sering diserang bencana. Dari segi cuaca yang mulai jarang turun hujan hingga menyebabkan ladang sawah kekeringan dan matinya tanaman padi. Selain itu maraknya judi dan mabok-mabokkan sudah mulai terang-terangan. Dan parahnya lagi pergaulan remaja yang sudah bebas hingga mereka tak malu lagi melakukan dosa ditempat umum.

Andi aku sedih melihat ini semua. Jalan dakwah yang kutempuh bersama segelintir manusia yang masih Istiqomah dijalanNya semakin hari semakin berat. Mereka kini tak mengindahkan perkataan kami. Ketika kami mencoba mendekati dan menasehati mereka, hanya cacian yang kami dapat. Suara keras yang menyalahkan Tuhan dan diakhiri dengan perkataan "sok suci". Seolah suara kami adalah musik keras yang mengganggu gendang telinga mereka.

Andi yang lebih parahnya lagi, para penduduk mulai bergeser pada hal-hal yang menyekutukan Allah. Mereka mencoba mencari kekayaan dengan waktu yang singkat. Mereka memelihara mahluk halus dan bahkan ada yang rela menjadi binatang. Semua itu demi harta. Tak heran sekarang banyak rumah penduduk yang mewah. Berlantaikan keramik yang bisa untuk
bercermin. Halaman rumah yang luas ditanami bunga-bunga yang warna-warni. Sebuah mobil bertengger digarasi samping rumah mereka. Dan jalanan becek kini sudah jarang ditemui. Sungguh ini bukan seperti desa yang kita kenal. Asing dan gersang.


***

" Alhamdulillah pengajian kian minggu kian ramai aja yah Di "
" Alhamdulillah. Mudah-mudahan ini awal yang bagus untuk kelangsungan dakwah didesa kita "
" Eh Di minggu depan kira-kira temanya apa yah untuk pengajian nanti ? " Mamat matanya menerawang kelangit-langit musholla dengan uang infak yang masih belum selesai ia hitung.
" Hey lanjutin tuh kerjaannya, jangan terlalu lama melamun " kusenggol lengan kanannya yang mengepal uang infak. Dia kaget dan kontan uang yang dipegangnya jatuh tak beraturan.
" Astagfirullah, aduh kira-kira dong ngagetinnya " dia mencubit lengan kananku sebagai tanda balas. Namun aku langsung membalasnya kembali dengan sebuah ledekan.
" Abis ente mikirnya terlalu lama sih. Mikir tema apa mikir calon mama ? " ledekku sambil tersenyum kecil. Kontan matanya melotot menatapku. Namun tak lama kemudian senyum dan tawa mewarnai ruang musholla kecil itu.

***

Kurebahkan kepalaku disandaran kursi. Terlihat langit-langit rumah kost yang berwarna putih sedikit lusuh. Mungkin karena kurang perawatan. Seperti desaku yang penduduknya sudah jarang dirawat dengan keimanan. Maka sikap dan pola hidup mereka jauh dari ridhoNya. Sungguh ada kesalahan mengganjal dalam batinku, Aku yang seharusnya membantu
mereka dalam berdakwah. Tapi aku lebih mementingkan kepentingan pribadiku. Mamat ma'afkan aku. Batinku terus-menerus beraktifitas tak henti berbicara. Aku coba melanjutkan isi surat dari sahabatku.

Andi akhir-akhir ini aku sedikit khawatir. Hingga aku sulit memejamkan mata ketika malam menjelang. Sebuah surat dengan pesan singkat berisikan sebuah ancaman selalu menggangguku dan itu entah dari siapa. Dia menginginkan aku berhenti untuk berdakwah. Berhenti menasehati pada penduduk yang sedang asik dengan kegiatan penambah dosa. Jika aku tidak mengindahkannya, maka tak segan-segan dia akan membunuhku.

Andi aku sekarang sedang dalam kebingungan. Satu sisi aku harus menunaikan kewajiban sorang muslim. Dan disisi lain nyawaku sedang terancam. Andi haruskah aku pergi dari desa ini dengan meninggalkan sebuah kegelapan desa kita ?. Atau harus tetap tinggal disini dengan mengabaikan surat peringatan tersebut walau nyawaku taruhannya ?. Andi andaikan
kau berada disini mungkin beban ini akan sedikit ringan. Semoga ini adalah ujian yang Allah berikan sebagai tanda cinta pada hambaNya.

" Astagfirullahal 'adzim, inikah desaku ? " kesedihan kini mulai merasuki hatiku. Bendungan kini sudah tah tertahan lagi. Air matapun mulai menitik satu persatu membasahi kertas surat. Aku merasakan beban berat yang ditanggung oleh teman-temanku terutama Mamat sahabatku. Sebuah cacian harus mereka jadikan buah kesabaran. Dan ancaman menjadikan sebuah pendekatan lebih pada sang Khaliq. Andi inilah jalan dakhwah. Penuh dengan kerikil-kerikil yang tajam dan menyakitkan. Tapi dibalik semua itu ada cahaya terang menanti orang-orang yang lulus dari ujian yang Allah berikan.

" Ya Allah kuatkan iman mereka, berilah kesabaran pada mereka. Berilah sedikit kekuatanMu untuk memerangi orang-orang yang menghambat dalam proses pengembalian keadaan desaku seperti semula. Desa yang penuh dengan kedamaian. Sopan santun dan keramahan terpancar dari raut wajah yang senantiasa menantikan sebuah senyuman dibalik bibir para tetangga yang lewat. Pengajian malam terasa begitu mengharukan hingga memecahkan suasana malam
yang dingin. Aku ingin semua itu terlihat kembali. Ya Allah bantulah perjuangan mereka ".

Aktifitasku sedikit terusik oleh suara yang bersumber dari dalam kamarku. Bergegas kuhampiri sumber suara yang terus-menerus memanggilku.
" Ada apa Jar ? " terlihat dia sedang memegang sebuah ponsel milikku dan memberikannya padaku.
" Ada telpon buat lu, katanya sih dari kampung " setelah mendengar pernyataannya langsung kugapai benda itu.
" Assalamu 'alaikum " terdengar jawaban dari sebrang sana dengan nada rendah.
" Yah saya Andi "
" Apa ?, kapan ? " aku mulai panik dan ..... rongga nafasku seperti ada yang menyumpat. Sebuah bongkahan yang begitu keras seperti tak bisa tertahan lagi dari tubuhku. Aku ingin menangis dengan sekeras-kerasnya jika kumampu. Tapi itu tak bisa aku lakukan. Aku hanya bisa mendengarkan pernyataan dari sebrang sana dengan kesedihan yang meluap campur
dengan ketidak percayaan. Apakah ini sudah berakhir ?. Tubuhkupun terkulai lemas tanpa tulang.
" Astagfirullahal 'adzim, ..... inna lillahi wa inna ilaihi raji'un "

Salam,
Arana
acep.arana@yahoo.co.id
posted by arana (acep ruswana) @ 12:32 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 

Waktu Jakarta
About Me


Name: arana (acep ruswana)
Home: Cengkareng City, Jakarta, Indonesia
About Me: Ketika hidup bermasalah, dan keinginan susah dijawab, itu tanda-tanda bahwa Allah rindu kepada kita. Allah ingin kita kembali kepada-Nya, mendekati diri-Nya, dan memohon kepada-Nya. Manfaatkan energi permasalahan dan kesulitan, untuk menjadi bahan bakar yang efektif untuk mendekatkan diri kita kepada Allah. (www.wisatahati.com)

Inilah Karyaku
Links

    SundaBlog

Pengunjung
    World Web DirectoryFree Hit Counter
Komentator

Koleksi Bunga
=== Shoutul Harokah === )(.:: Bangkitlah Negriku ::.)(

Website and all contents © Copyright 2008 by .:: ARANA ::.