myspace codes
.:: Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ::.

Friday, June 06, 2008
Novel Ketika Cinta Bertasbih - Habiburrahman El Shirazy

























Satu lagi Novel karya Kang Abik yang begitu melecut hati ini untuk terdorong melangkah lebih baik lagi. Kisah seorang anak yang begitu besar baktinya pada orangtua dan adik-adiknya. Sedangkan sebagian temannya mengetahui dia itu hanya seorang tukang pembuat tempe dan bakso hingga dia tidak lulus-lulus juga menyandang Sarjana di Universitas Al Azhar Cairo, Mesir. Padahal dia telah tinggal disana selama 9 tahun dan selama itu pula dia tidak bertatap muka dengan keluarganya. Dialah Azzam, Abdullah Khairul Azzam. Apa saja yang dia kerjakan disana? Lalu apa yang menyebabkan dia seperti itu? Telusuri kisahnya, semoga bermanfaat :

Ketika Cinta Bertasbih edisi 1

BAB 1-13
BAB 14-16
BAB 17-20
BAB 21-25

Ketika Cinta Bertasbih edisi 2

BAB 1-2
BAB 3-5
BAB 6-8

salam,
.:: arana al-fatih::.
Pembaca yang tertegun ketika tasbih menggema tanda cinta pada-Nya
posted by arana (acep ruswana) @ 7:55 AM   1 comments
Novel Ayat-Ayat Cinta - Habiburrahman El Shirazy
Novel Ayat-Ayat Cinta, inilah salah satu novel yang bermutu karya Habiburrahman El Shirazy atau sering disapa Kang Abik. Saya mengakui kedalaman bahasa serta makna yang terkandung dalam novel ini walaupun saya hanya sebatas pembaca biasa. Novel ini bisa menggugah, menggerakkan serta memotivasi untuk bangkit, berdiri dan melangkah ke arah yang lebih baik.

Sebelumnya saya minta maaf pada Kang Abik bukan maksud saya dalam penyebaran ebook ini dalam rangka pembajakan, namun saya hanya ingin menyebarkan beberapa pelajaran yang sangat berharga yang terkandung dalam novel ini. Silahkan bagi yang penasaran dan ingin membacanya, semoga bermanfaat dan terinspirasi untuk merajut masa depan yang lebih baik lagi :

Novel Ayat-Ayat Cinta


Salam,
.:: arana al-fatih::.
Pembaca yang tertegun dengan Ayat-Ayat Cinta-Nya
posted by arana (acep ruswana) @ 7:30 AM   0 comments
Tuesday, October 30, 2007
Ibu, tunggu aku
Tiga minggu sudah hari yang fitri telah berlalu. Namun, gema takbir masih terngiang sampai saat ini. Pukulan bedug menggema menerobos kesunyian malam. Sayu-sayu melambai memanggil jiwa tuk kembali pada kesucian. Keriangan anak-anak memadukan malam yang siap dilampaui tanpa keheningan.

“ Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Laa ilaaha illallah Wallahu Akbar
Allahu Akbar Kabiro
Wal hamdulillahi katsiro
Wa Subhanallahi Bukratan Wa Ashila
Laa Ilaaha Illallahu La Na`budu Illaa Iyyah,
Muhklishina Lahud-din, Walau Karihal Kafirun.
Laa Ilaaha Illallahu wahdah,
Shadaqo Wa `dah,
Wa Nashara ` Abdah ,
Wa A`azza Jundahu Wa Hazamal Ahzaaba Wahdah.
Laa Ilaaha Illallahu Wallahu akbar
Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd “

Serentak jamaah Musholla Al-Huda pun membalas takbir

“ Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Laa ilaaha illallah Wallahu Akbar
Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd “

Begitu indahnya lantunan takbir dimalam itu, membuat ketenangan jiwa benar-benar berada pada puncaknya. Sejuk dan damai. Hingga kan abadi malam itu untuk menjadi kenangan terindah dalam setiap langkah kehidupan.

Disatu sisi. Imam bahagia jiwanya telah diantarkan pada malam itu. Namun disatu sisi, ada sebuah rasa yang membuatnya malam itu terasa berbeda. Entahlah, mungkin ini perubahan yang belum siap ia terima. Atau, kerinduan yang sangat hingga lupa siapa ia sebenarnya.

Malam itu, tak ada sentuhan sebelum melangkah mengumandangkan takbir. Tak ada kelembutan yang diraba dari jemari ibunya. Tak ada kesejukan yang terpancar dari senyum ibu. Semua, hanya bisa terbayang seolah ibu ada didepannya saat itu.

***

“ Imam, makan dulu baru berangkat ke musholla ya. Ketupatnya udah jadi “ terlihat ibu baru keluar dari dapur. Setiap tahun ibu selalu membuat ketupat dan sayur opor tanpa ayam, tapi rasanya tidak kalah dengan sayur opor yang beri ayam.

Kesejukan senyumnya telah meluluhkan hati imam. Ibu tahu, kalau imam sudah ikut takbiran bisa-bisa larut malam atau pagi baru pulang.

“ Wah, udah jadi ya bu ? Asik. Tumben bu sore gini udah jadi, biasanya nanti malam kalo gak pagi-pagi bu ? “ imam pura-pura bingung, tapi sebenarnya ia sangat senang.

“ Udah makan aja jangan banyak tanya, nanti ketinggalan shalat isya loh “ ibu tersenyum lantas masuk ke kamarnya.

Suasana redupnya lampu 5 watt di dapur tak membuat imam sulit tuk temukan ketupat dan sayur opor kesukaannya. Terlihat ketupat tergantung riang diatas sebatang bambu yang terikat tali keatas dikedua sisinya. Sedangkan sayur opor masih tersaji dan tertupup rapat didalam panci yang semua bagian luarnya hampir berwarna hitam pekat. Maklum, mereka tinggal didesa, ibu memasak hanya mengandalkan kompor alami yang bahan bakarnya dari kayu.

Bapak sudah lebih dulu pergi ke musholla. Tinggal imam yang sedang lahap memakan makanan kesukaannya dan ibu. Sedang, kakak satu-satunya tinggal di kota lain bersama suaminya.

“ Ibu, aku sudah selesai. Aku berangkat duluan ya bu “ terlihat ibu keluar sambil merapikan mukena beserta sajadahnya. Tak lupa imam mencium tangan ibu yang terlihat kasar dan mulai mengkerut.

“ Ya udah, nanti ibu nyusul ya “

Sarung dan pecipun dengan cepat disambar imam. Keriangannya telah membuat ia terburu-buru berlari menuju musholla. Usianya saat itu 10 tahun.

Diluar musholla anak-anak sudah mulai meramaikan. Ada yang sedang mengantri wudhu disumur sebelah musholla, dan ada yang sedang bermain kejar-kejaran sambil menunggu adzan isya. Semakin lama beberapa penduduk mulai berdatangan untuk meramaikan malam kemenangan.

Tak lama adzan isyapun berkumandang. Terlihat para jamaah yang masih diluarpun mensegerakan masuk ke musholla, temasuk anak-anak yang dari tadi asik bermain. Panggilan isyapun telah menggerakan sebagian warga tuk merapatkan shaf sebelum menggemakan takbir dimalam kemenangan.

“ Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Laa ilaaha illallah Wallahu Akbar
Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd “

Keramaian melantunkan asma-Nya telah dikumandangkan. Terlihat di shaf kedua imam duduk sambil melantunkan gema takbir. Bapaknya mulai bangkit dari shaf pertama dan beranjak pulang sejenak untuk menikmati masakan ibu. Iapun tersenyum kecil ketika melewati imam dan meraba kepala anaknya seperti biasa.

Setiap penjuru desa kini tak menyisakan kesunyian. Semua dihiasi takbir yang mengagungkan ke-Esaan-Nya. Anak-anak asik menabuh bedug musholla dan adapula yang berkeliling kampung sambil melantunkan takbir.

Malam itu benar-benar tercipta untuk sebuah kemenangan. Kemenangan bagi jiwa yang senantiasa harus terjaga dari hawa nafsunya dan kemenangan bagi raga yang senantiasa harus menahan lapar serta haus dahaga sebulan penuh dibulan ramadhan.

Malam semakin larut. Beberapa jamaah ada yang mulai meninggalkan musholla. Kini anak-anak mendapat giliran untuk melantunkan takbir. Termasuk imam. Malampun kini hilang dari kesunyian.

***

Tak terasa genangan airmata membasahi pipi. Lagu yang berjudul Ibu telah menemani lamunan imam dalam mengenang masa lalu. Menebarkan kerinduan yang sangat pada sosok jiwa yang penuh kelembutan. Bait demi bait terlantun bagaikan dorongan pada jiwa yang sedang merindu.

Walaupun telah terjadwal pertemuan itu akan dilaksanakan. Namun, imam merasa waktu begitu lambat berlalu. Kerinduan yang sangat telah membuatnya ingat akan dosa-dosanya.

Lebaran ini pasti sangat berbeda dibanding sebelumnya. Walaupun anak-anaknya jauh, namun setiap tahun salahsatu anaknya pasti kan pulang. Mencoba meramaikan suasana rumah yang bertembokkan anyaman yang tebuat dari bambu atau bilik. Dan yang terpenting, mengukir senyum bapak dan ibu.

Imam tak kuasa membayangkan dibalik anyaman bambu mereka merayakan lebaran kali ini hanya berdua. Sesekali tetangga datang untuk mengucapkan maaf lahir dan batin. Dan setelah itu merekapun pergi lagi. Mungkin mereka tersenyum sesaat ketika ditanya mengenai anaknya. Sambil menjawab “abis lebaran pulangnya”. Tapi apa mungkin benar-benar abis lebaran atau abis lebaran setelah berbulan-bulan ?.

Mereka sedang menanti kedatangan anaknya. Mungkin setiap saat mereka menatap pintu berharap anaknya segera datang. Mengucap salam. Tersenyum. Mencium tangannya. Dan memeluk tubuhnya dengan penuh kerinduan.

Mungkin diantara mereka bapak masih bisa menahan airmata kerinduan tuk berjumpa anaknya dihari kemenangan. Tapi siapa sangka, ibu tetaplah ibu. Kelembutan hatinya telah mengantarkan airmata untuk membasahi kulit pipinya yang mulai keriput.

Walaupun ibu sangat besar harapannya untuk melihat wajah anaknya dihari kemenangan. Tapi pengertiannya ia depankan demi menghargai keinginan anak-anaknya. Tak jarang dia mengorbankan kerinduannya demi anak-anaknya. Berharap ia hanya ingin melihat anaknya senang. Namun sebaliknya, kapan anaknya akan membuatnya senang ?. Kapan anaknya mengedapankan senyum sang ibu dibandingkan keinginannya ?.

Ibu. Tunggu aku. Gumam Imam. Aku kan segera mengucap salam di pintu masuk. Aku akan tersenyum ketika melewatinya. Aku akan mencium tanganmu yang penuh dengan kelembutan. Dan, aku akan memelukmu erat penuh kerinduan. Serta memohon maaf atas kekhilafan anakmu. Sampaikanlah jiwa dan raga ini pada mereka Ya Rabb. Amin.

Salam,

.:: arana al-fatih ::.
Jiwa yang sedang rindu sosok ibu
posted by arana (acep ruswana) @ 5:39 PM   0 comments
Monday, February 12, 2007
Terbangun
sesaat ragu kini terjawab
kemustahilan berkecamukpun hilang
terpampang raga dalam diam
terbentang sampah berserakan

tak heran ketika Ia berkehendak
hanya ujung jari yang bergerak
mampu goncangkan kerasnya bumi
tak berdaya ketika ia diperintah

Penguasa tetaplah Ia
ketika logika manusia tak bisa meraba
pola pikirnya begitu dangkal
setetes ilmupun takkan mungkin bisa
menorehkan niat dari sang Penguasa

sudahlah bukti
saat gelombang bagaikan karang
menerjang garang tak memandang
menyeret mimpi menyambut mentari
dalam harapan yang masih segar

sudahlah bukti
dimana bumi begitu keras dan besar
ketika ujung jari-Nya tersentuh
meretakkan dan meratakan
tiangpun sujud ikuti perintah-Nya

sudahlah bukti
ketika air diperintah meninggi
dataranpun tak kuasa menghilang
serapan tanah biarkan terdiam
sepasang mata kini melihat lautan

sudahlah bukti
biarkan aku renungkan diri
sebelum nafas ini diperintah-Nya pergi

manusia yang penuh dosa,
.:: arana ::.
posted by arana (acep ruswana) @ 4:44 PM   0 comments
Thursday, January 25, 2007
Muhasabah
Ya Rabb
kadang kesombonganku menjadi kebanggaan
berkaca diri seolah tidak pernah mati
menelusuri hidup dalam angan tinggi
berselimut gemerlapnya hasrat duniawi

Ya Rabb
Engkau tahu kuharus berjuang
syetan tak pernah bosan bisikan kebohongan
selalu buatku bimbang
lukiskan warna dibalik jurang
menunggu waktu kapan ku terjatuh

Ya Rabb
bilamana kutahu secepatnya hidupku berakhir
berikan hiasan dunia untukku berpikir
genggam jiwaku arahkan lurus jalanMu
taburkan benih cintaMu dihati ini

Ya Rabb
senantiasa sesalku buahkan pilu
air mata genangi rasa rindu
berharap Kau masih menyayangiku

Ya Rabb
sujudku kini penuh harap
malamku bertabur malu
lembaran dosa terus beterbangan
berharap Engkau masih memaafkan
pada jiwa yang penuh kekhilafan

amin ...

Jakarta, 25 Januari 2007
.:: arana al-fatih ::.
posted by arana (acep ruswana) @ 2:11 PM   0 comments
Wednesday, January 24, 2007
Untukmu Sahabat
sahabat
sepiku hilang rasa
merambat perlahan dalam hampa
jemarimu tak lagi ada
mendarat tepat antarkanku bergerak

sahabat
sekilas terasa begitu dekat
kau senja sesaat tinggalkan mentari
sinarmu lembut
pudarkan bimbang tersapu pasir

sahabat
goresan tintaku masih jauh
tuliskan citra baik hatimu
rangkaian kata serpihan jiwa
tak ada waktu ukirkan jasamu

sahabat
biarkan rasa pancarkan cahyamu
biarkan cerah lukiskan anganku
sejauh engkau kan tetap
menjadi sahabatku

Jakarta, 24 Januari 2007
.:: arana al-fatih ::.
posted by arana (acep ruswana) @ 6:02 PM   0 comments
Tuesday, January 23, 2007
Kagum
seakan saat itu aku jingga terus merona
terbalut malam yang terus merayap
siapkan bintang kilaukan cahaya
dalam mimpi yang terus menyapa
selama ia terus terjaga

hangat biaskan rasa
seandainya kata bisa terangkai
seandainya bahasa cairkan suasana
biarlah malam terus terlelap
berikan segalanya

suasana penuh harap
melihat nyata didepan mata
menatap merajut sujud
terpaku tak mau pergi

biarkan
biarkan jiwa ini terus menangkap

Jakarta, 23 Januari 2007
.:: arana al-fatih ::.
posted by arana (acep ruswana) @ 8:29 PM   0 comments
Thursday, January 04, 2007
Terimakasih Sahabat

Entah mengapa malam itu sulit sekali mata ini dipejamkan. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam kurang. Biasanya pada jam sekian aku sudah tertidur pulas. Tapi saat itu kegelisahan terus mengahantui, menanti suatu nikmat sekaligus kesedihan yang tertahan beberapa menit lagi. Bayangan lampau terus mengantarkanku pada bagian hidup yang tak mungkin terulang kembali. Mengingatkan sebuah sikap yang membuat ... ah, sudahlah itu kenangan masa lalu. Kucoba menepis kekeliruan itu. Kutarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiranku.

HPku bergetar. Sesaat membuatku terbangun dari lamunan masa lalu. Sebuah nama yang tak asing lagi muncul dalam layar.

" assalamu'alaikum " kubuka pembicaraan.
" wa'alaikum salam warahmatullah, lom tidur nih ? "
" belom, lu sendiri kenapa belom tidur ? "
" terserah dong gw mau tidur atau belom. Malem ini gw pengen telpon aja, sekalian .. " sesaat dia terdiam yang membuatku penuh tanya.
" sekalian apa nih ? " kucoba mencari jawaban.
" kan beberapa menit lagi perubahan akan terjadi pada diri lu. Sebuah peristiwa dimana bercampurnya sebuah kegembiraan sekaligus rasa sedih "
" maksud lu ? Sok puitis lu " aku pura-pura tidak mengerti.
" nah, sekarang nih awal dari perubahan itu. Selamat ya, semoga apa-apa yang dicita-citakan terkabul, ditambahkan rejekinya, dimudahkan jodohnya dan tentunya dapet jodoh yang sholeha he..he.. " belum sempat aku tanya panjang lebar, dia sudah menjawabnya. Kucoba melihat jam. Pukul 12 lebih beberapa detik.

Tak terasa butiran-butiran hangat mulai mengalir membasahi pipi. Padahal genangan tersebut sudah coba aku tahan sejak lamunan menemaniku. Tak kusangka, begitu perhatiannya dia hingga meluangkan sebagian waktu tidurnya hanya untuk mengucapkan selamat dan do’a, yang dengan itu membuatku begitu sangat berharga. Sesekali dia menanyakan hadiah apa yang aku mau ?. Dia akan mencoba mencarikan sesuai dengan keinginanku. Hadiah ? Inilah hadiah yang begitu berharga dari yang lain. Sebuah do'a dan perhatian pada sahabatnya adalah kado yang tak ternilai. Hadiah yang tak mungkin ada di toko-toko manapun. Batinku.

" halo ? masih bangun nggak nih ? " dia mulai mencari suaraku.
" ya, sorry ... makasih yah atas do'anya " kucoba sembunyikan rasa haruku.
" diaminin nggak do'anya ? Eh, mau kado apa nih ? " lagi-lagi dia menanyakan hal itu.
" diaminin kok, untuk kado lu nggak perlu repot-repot. Do'a dan waktu yang lu kasih malem ini udah jadi kado yang sangat berharga. Sekali lagi, makasih ya "
" bener nih nggak mau kado ? Ya udah kalo gitu, kebetulan dah malem dan besok juga harus masuk kerja. Sekali lagi, selamat ulang tahun yah. Semoga sisa umur lu diberi keberkahan ya "
" amin. Sekali lagi makasih ya "
" sama-sama. Ok deh kalo gitu, assalamu'alaikum " ucapan penutup terdengar sebelum dia putuskan komunikasi.
" wa'alaikumsalam warahmatullah "

Tak lama setelah pembicaraan selesai, muncul sms yang mengucapkan hal yang sama.
" Ass, selamat milad, smoga 4JJI snantiasa mlimpahkan keberkahan pd stiap detik usia kamu. Amin ". Belum kering anak sungai membasahi pipi, perhatian lain telah membuat keharuan hati ini mengucapkan rasa syukur. Alhamdulillah ya Rabb, Engkau telah memberikan sahabat-sahabat yang baik hati. Sahabat yang senantiasa selalu mendo'akan dan memotivasiku.

Shubuh telah berlalu beberapa menit. Nada sms terdengar dari HPku. Seorang sahabat yang lain mengucapkan sebuah kata selamat yang tak lupa diikuti dengan do'a. Subhanallah, semoga engkau menjadi salahsatu orang yang dido'akan malaikat dipagi ini sobat. Kujawab smsnya dengan keharuan yang begitu dalam. Hingga sorepun, tak henti-hentinya sms ucapan selamat dan do'a memenuhi inbox HPku. Subhanallah. Ya Rabb, berikan mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka do'akan padaku. Amin.

Jakarta, 26 Desember 2006

posted by arana (acep ruswana) @ 9:36 AM   0 comments
Saturday, December 23, 2006
Ibu
Goresan penaku takkan mungkin bisa,
mengukir pengorbananmu
Setumpuk harta takkan mungkin bisa,
membalas keringatmu
Seumur hidupku takkan mungkin bisa,
membalas kasih sayangmu

Seuntai do'a mengetarkan bibir ini
Terucap sebuah kata yang begitu sederhana
Menyatu dalam kerinduan
Berharap penuh keikhlasan

Ya Rabb
Seandainya Kau berikan kesempatan
Siapa yang pertama masuk ke surgaMu
Didalam keluarga, kan ku jawab
Ibu

salam,
.:: arana ::.
"maafkan atas kenakalanku, ibu"
posted by arana (acep ruswana) @ 10:18 AM   0 comments
Tuesday, August 29, 2006
Hilang
senja melukis lara
karang terkikis hilang harap
ombak terus menghantam
pasir terus berbisik
tak berani mengusik

lambaian tak terhirau
sayup terdengar berita
senja mati tinggalkan pantai

kusapa alam tak menjawab
angin mengusir jiwa terpaku
tertanam dalam angan
terhenti setengah mati

gelap
terlelap
bergerak terperanjat

.:: arana ::.
dalamkaryakubicara
posted by arana (acep ruswana) @ 2:45 PM   0 comments
Sunday, August 27, 2006
Bidadariku Bukan Untukku
Ah, cinta memang tak pernah pudar dari hidup ini. Ia datang tak diduga. Merasuk kedalam jiwa, memperkenalkan sebuah keindahan. Dikala itu sebuah kehidupan baru mulai mempresentasikan sebuah karya Maha Agung. Terlintas dalam benak keadaan-keadaan yang indah. Berpacunya waktu selalu menjadi perhatian. Disaat itu satu detik tidak memandangnya, waktu terasa begitu lambat berlalu.

Mungkin orang memandangku waktu itu masih kecil untuk mengenal kata cinta. Aku baru berusia 12 tahun dan baru lulus Sekolah Dasar. Tapi bukankah cinta tidak seperti sebuah acara. Disaat waktu sudah tepat. Cinta akan kita undang untuk datang. Cinta kan karunia Allah, jadi hanya Dia yang tahu kapan cinta akan menghampiri.

Ketika aku lulus SD, aku diterima di SLTP yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Ketika itu aku mulai merasakan sebuah kegundahan. Disaat pukul 9 malam, mata ini sudah jarang dihujani rasa kantuk. Hanya bayang wajahnya yang terus mengganggu malamku. Kesendirian ditemani lamunan sudah menjadi hobiku saat itu. Sebut saja Lia . Wanita yang telah mengisi ruang hatiku. Hingga aku termotivasi untuk lebih giat belajar.

Hari-hari kulalui sambil mencuri-curi pandang. Kebetulan dia satu kelas denganku. Dia duduk dibaris pertama. Sedang tempatku dua baris dibelakangnya. Posisi ini sangat menguntungkan bagiku. Aku bisa memperhatikan guru yang sedang menjelaskan pelajaran. Sekaligus aku bisa mencuri pandangan hanya dengan sedikit menggeserkan bola mataku. Sekali berlabuh, dua pulau terlampaui.

Sungguh dia bagaikan bidadari. Wajahnya cantik tanpa kosmetik yang menyelimuti diwajahnya. Rambutnya lurus, panjangnya sebahu. Kulitnya putih bersih. Tingginya tidak jauh berbeda denganku. Hanya lebih rendah dariku. Tinggiku saat itu 160 cm. Sungguh dia sudah termasuk kriteria wanita yang kuimpikan.

Setelah itu aku baru mengerti. Mengapa cinta bisa merubah segalanya. Disaat sebuah kengerian tak lagi mempengaruhi. Pengorbanan seperti pemberian yang begitu tulus. Keceriaan selalu menyapaku dipagi hari. Kelihaian langkah kakiku menuju sekolah begitu ringan. Hanya berharap hari ini aku masih bisa melihat wajah manisnya. Tapi, aku selalu berdo'a dalam setiap langkahku. Semoga dia mau menyediakan sedikit ruang istimewa dihatinya untuk menyimpan namaku.

Keriangannya didalam kelas membuatku semakin tertegun. Sungguh suatu pemandangan yang indah. Seandainya saat itu aku berada disampingnya. Mungkin aku berpikir, aku adalah lelaki yang paling bahagia didunia ini. Ah, cinta memang terkadang membuat suatu angan-angan yang berlebihan.

Aku belum pernah bertegur sapa dengannya. Mungkin karena sifatku yang pemalu. Selain itu aku kurang berani merekomendasikan diri untuk menyatakan rasa sukaku. Prinsipku saat itu, jika dia memang suka padaku. Suatu saat nanti pasti dia akan merasakan cintaku. Tapi, sampai kapan ?. Ah, biarlah waktu yang akan menjawabnya. Prinsip tetaplah sebuah prinsip. Sulit untuk disamakan dengan pandangan orang.

Walaupun aku tidak pernah bertegur sapa dengannya. Aku tetap mencari informasi yang berhubungan dengan dia. Entah itu dari teman lelakinya yang dulu satu sekolahan di SD. Hingga kabar anginpun kucuri untuk menambah data-dataku tentang dirinya. Semakin bermekarlah bunga-bunga dihatiku setelah mendapat sedikit informasi mengenai dia. Kuakui daya dorong cinta bisa membangkitkan semangat yang selama ini telah berkarat.

Waktu takkan selalu bersahabat. Suatu hari aku mendapati informasi yang membuatku sedih. Larut dalam keheningan malam. Rasa kantuk tak kunjung datang. Rasa lapar sudah tak lagi dirasakan. Hanya air mata yang menemaniku. Menemani untuk meratapi nasibku. Informasi itu seperti sebuah serpihan kaca yang berhamburan dihatiku. Mengiris dan terus mengiris. Sakit sekali.

Seperti biasa aku makan dikantin jika istirahat tiba. Tapi hari itu aku agak terlambat, karena aku harus menyelesaikan tugasku dahulu. Tanpa sengaja aku melihat Lia makan berdua dengan seorang laki-laki dikantin. Lahar panaspun tanpa dikomando mulai menyebar keseluruh hatiku. Mungkinkah ini yang disebut cemburu ?. Ah, segera kutepis kecurigaanku saat itu. Jangan percaya apa yang dilihat mata tanpa ada bukti yang nyata. Mungkin itu yang membuat hatiku sedikit tenang. Aku pura-pura bersikap seperti biasa. Seolah aku tak melihat pemandangan istimewa dikantin sekolah. Aku memesan makanan seperti biasa. Tapi, hati tak bisa dibohongi. Perut lapar yang sejak pagi menagih. Kini hilang seketika hanya dengan satu suap makan.

Setelah kejadian itu, aku sedikit kehilangan semangat hidupku. Bangun pagi selalu kesiangan. Sebab tiap malam aku selalu menanyakan lelaki itu pada bintang-bintang. Tapi mereka tak menjawab. Hanya terlihat kelap-kelip sinarnya. Tersenyum. Seolah mengejek ketidakberanianku yang terlambat mendapatkan sang pujaan.

Setelah kejadian itu, waktu istirahat sering kuhabiskan dimasjid samping sekolah. Kadang untuk menunggu bel masukpun kuhabiskan dimasjid itu. Ada sedikit ketenangan dirumah Allah. Didalam masjid aku terus menyesalkan prinsipku. Tidak mau terus terang sebelum dia yang mengatakannya. Hingga akhirnya ada lelaki lain yang telah mendahuluiku.

Air wudhu kubasuh pada bagian tubuhku. Segar terasa hingga seluruh jiwa. Mulai pagi itu aku bertekad tak boleh terus-menerus larut dalam kesedihan. Aku harus mengadu pada sang pemilik hati ini. Mencoba meminta sebuah jawaban. Dan membimbingku mencari jalan pemecahan dari masalahku.

Dalam sujud sengaja waktunya kulebihkan. Tetes demi tetes butiran matapun tak lagi terelakan. Kuresapi gerakan demi gerakan dalam shalat pagiku. Padahal sebelumnya aku tak pernah sekhusyu ini. Ada sebuah kenikmatan dalam setiap gerakannya. Mungkin karena aku sedang bersedih. Sajadah kini basah dengan air mata kesedihanku. Setelah selesai shalat 2 rakaat, kutengadahkan kedua tanganku menghadap langit-langit masjid. Seperti seorang pengemis yang meminta sedikit rejeki pada orang yang berlebih. Kini tanganku berharap mendapatkan pemecahan masalah pada Dia yang Maha Bijaksana.

Ada sebuah ketenangan dihati ini. Kewajiban yang selama ini sering bolong. Sedikit demi sedikit kutambal supaya mulus.

Suatu siang. Tanpa sengaja aku shalat berjamaah dengan lelaki yang kulihat berdua dengan Lia dikantin waktu itu. Aku sempat ragu dengan penglihatanku. Tapi tetap saja dia walaupun aku kucek-kucek mataku. Tapi, tumben dia shalat zuhur berjamaah dimasjid. Batinku dalam hati. Astaghfirullah kok aku merendahkan orang lain. Shalatkan sudah kewajiban. Bukannya bersyukur. Segera kutepis pikiran-pikiran setan yang selalu berupaya menjerumuskan pada kenistaan. Siang itu aku shalat zuhur berjamaah dengannya. Terasa sebuah kekesalan yang tertahan dihati ini. Dia telah mengambil hati sang pujaan.

Usai rincian acara shalat zuhur selesai. Dia menegurku dari belakang,
" Hei.... " dia menepuk bahu kananku. Hay, hey, emang nggak ada panggilan lain apa ?. Kan bisa salam. Aku hanya membatin. Kupalingkan wajahku kebelakang.
" Apa ? "
" Gue mo ngomong sesuatu ama lu. Bentar aja " dia mengajakku duduk diteras masjid
" Ada apa sih ? "
" Eh iya kenalin dulu, nama gue Harry. Gue kelas 2. " ooo...dia kelas 2 toh. Pantes. Aku membatin.
" Kalo ga salah lu kan satu kelas sama pacar gue yah ? "
" Iya, terus kenapa kalo satu kelas ? " aku bicara sekenanya, tak peduli dia kakak kelasku.
" Katanya ada tugas kesenian yah, suruh apaan sih ? "
" Oo... disuruh bikin kaligrafi bismillah tapi bentuknya bintang "
" Eh bilangin ma dia mau dibikinin ama gue ga gitu ? "
" Kenapa ga bilang aja sendiri " dia langsung diam sejenak. Sepertinya terlihat ada masalah dimatanya. Mungkinkah mereka sedang bertengkar ?. Ah, buat apa aku mikirin dia.
" Gue minta tolong ama lu kali ini aja " kedua tangannya bertemu dan menempel didada seperti orang yang bersemedi. Wah aku paling tidak bisa menolak deh kalau begini caranya. Apalagi dia mintanya dengan nada suara rendah dan memelas. Siapa yang tega ?. Akhirnya aku sanggupi juga permintaannya. Walaupun hati kecilku menolak.

Akhirnya, aku diberi kesempatan juga untuk bicara langsung dengan sang pujaan. Tapi, kenapa kesempatan itu datang disaat kuterluka ?. Kenapa pertengkaran mereka tidak terjadi disaat hati ini sedang mengharapnya ?. Dikala dia berduka, aku menjadi sebuah penolong kesedihan hatinya. Menjadikanku obat penawar untuk membalut luka hati. Ah, hidup memang penuh dengan misteri. Selalu meninggalkan sebuah kebingungan. Tapi aku bersyukur diberi kesempatan untuk bisa bicara dengannya.

Ringan langkahku dari masjid. Kupercepat langkahku karena waktu istirahat hampir selesai. Terlihat dia sedang duduk berdua dengan temannya dikelas.
" Sorry ganggu nih, Lia gue boleh ngomong sebentar ga ? " entah kenapa rasa grogiku hilang tidak menyapaku.
" Ngomong apa ?
" Mmm.. kita bisa ngomong berdua ga ? " temannya menatap kami berdua secara bergantian.
" Ciee....baru nih, mau ngomong masalah dari hati kehati yah ? Ok deh gue ngerti kok, gue cabut dah " akhirnya dia pergi meninggalkan kami berdua didalam kelas setelah dia meledek kami. Wah gimana nih kalo jadi gosip.
" Mau ngomong apa ? " pertanyaanya membuyarkan pikiranku. Dia menatap wajahku penuh dengan kebingungan.
" Tadi gue ketemu Harry, katanya mau ga lu dibuatin tugas keseniannya ama Dia ? " dia diam seribu bahasa. Wajahnya berpaling dariku. Sama seperti Harry.
" Kok diem sih ? Mau ga ? " aku bingung harus berkata apalagi. Bel masukpun berbunyi. Aku belum mendapatkan jawaban. Hanya diam.

Seserius itu kah pertengkaran diantara mereka. Hingga sulit mencari jawaban atas pertanyaanku. Aku harus bagaimana nih ? . Disisi lain dia adalah wanita yang selama ini kuincar. Sempat kuberpikir membiarkan mereka bertengkar hingga berlarut. Terus putus. Dan aku bisa masuk dalam kehidupan Lia. Tapi bodohnya, kenapa juga aku menyanggupi permintaan orang yang seharusnya menjadi sainganku. Pertengkaran terus berkecamuk dalam pikiranku. Sore nanti Harry minta jawabannya. Sedang Dia tidak tahu perasaanku sebenarnya.

Murid-murid sudah lengkap siap menungu pelajaran baru. Tapi, dari balik pintu tak kunjung datang orang yang dinanti. Akhirnya ruangan terasa seperti pasar. Perbincangan dimana-mana. Mulai dari persoalan pribadi yang terdengar pelan-pelan hingga tak bersuara. Sampai masalah pacaran yang dikisahkan oleh kelompok Ceriwis. Begitulah kelompok yang mereka namai dan terdiri dari 4 orang. Suara merekalah yang paling nyaring saat itu.

Inilah saat yang tepat. Terbesit dalam benakku untuk meminta jawaban yang terpending.
" Lia... " pelan kupanggil namanya. Namun dia asik ngobrol dengan teman sebangkunya. Hingga kupanggil untuk kedua kali. Dan diapun menengok.
" Apaan ? "
" Tadi gimana jawabannya ? " dia terdiam lagi untuk kedua kalinya. Hampir aku putus asa. Tapi aku harus mendapatkan jawaban.
" Lia, mau ga ? " aku terus memojokkan pertanyaan. Tanpa kusadari volume suaraku sedikit keras. Cukup terdengar oleh penduduk satu kelas. Dia menoleh kembali kepadaku. Lalu dia berkata dengan suara yang nyaring.
" Lu mau tau jawabannya ? Gue ga mau. Dan gue maunya sama lu " duarr. Dadaku terasa dipasang bom waktu yang telah lama menunggu peledakan tiba. Waktu telah habis. Dan kini telah meledak. Meluluhlantakkan hatiku. Aku terpana dengan kata-katanya. Saat itu aku tak menyangka dia akan mengatakan hal tersebut.

Suara bergemuruh mulai mengisi ruang kelas. Anak-anak mulai meledek kami saat itu. Terutama aku. Habis sudah wajahku dengan warna merah. Aku malu sekali diteriaki dan diledeki teman satu kelas. Aku hanya bisa diam terpaku menundukkan kepala.

Istirahat tiba. Aku langsung keluar dari kelas. Sendiri. Sebagian temanku masih meledek atas kejadian tadi. Namun aku mencoba bersikap biasa. Hari itu seperti biasa aku pergi kemasjid. Aku ingin merenungi kejadian tadi. Tanpa kusadari, saat itu ternyata Lia mengikutiku.

Aku buka gerbang yang tidak selalu dikunci. Belum sampai diteras masjid Lia memanggilku.
" Wan tunggu " dia menghampiriku. Kupalingkan wajahku kebelakang. Aku sedikit tak percaya sesosok wanita yang kusukai ternyata membuntutiku.
" Lia ? ngapain kesini? Ga kekantin ? " aku bersikap seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa.
" Wan gue mo minta maaf atas kejadian tadi. Gue ga tau kenapa gue bisa ngucapin itu. Kayanya ada sebuah dorongan yang membuat gue harus mengatakan itu. Gue ngerti momentnya ga tepat. Tapi gue ga tahan lagi " wah sigugup dateng nih. Aku bingung harus berkata apa. Rangkaian kata hilang seketika. Terbang bersembunyi dibalik awan. Mengintip kedua insan yang sedang kebingungan. Beberapa saat kami terdiam.
" Lia, sudahlah, mungkin lu lagi ada masalah " akupun pergi. Meninggalkan dia sendiri.

Terdengar suara yang membuatku merasa bersalah saat itu. Dia telah menangis dibelakangku.
Aku merasa keputusanku waktu itu salah. Tapi pada waktu itu aku langsung teringat kata temanku yang aktif diorganisasi Islam. Bahwasanya cinta itu jangan kita salahkan artikan. Dan jangan pula kita salahkan. Sebab yang salah bukan terletak pada cinta. Tapi pada pengaplikasian cinta tersebut. Kita cinta pada seseorang. Itu boleh dan fitrah. Tapi kalau kita harus melanjutkan dengan pacaran. Itu keputusan yang salah besar. Sebab pacaran bukan wadah untuk mencurahkan rasa cinta. Yang ada hanya dosa menyertai. Kecuali mereka telah melewati gerbang pernikahan.

Konsekuensi dari sebuah kata cinta itu sangatlah besar. Ketika kata itu terucapkan dari mulut kita. Pada saat itu pula sebuah pengorbanan dituntut demi orang yang kita cintai. Sebuah perlindungan harus kita berikan agar orang yang kita cintai merasa aman. Kasih sayang dan perhatianpun harus tercurahkan padanya. Semuanya itu dijalani dalam keadaan kita sering bertemu atau bedampingan berdua. Dan jika tak mau menodai hakekat cinta. Maka menikahlah. Atau apabila tak sanggup. Berpuasalah. Itu lebih baik daripada pacaran.
Sadar atau tanpa kita sadari. Sesungguhnya ketika pacaran, kita telah sering melakukan kontak dengannya. Entah itu kontak mata secara langsung atau kontak kulit karena keseringan jalan berdekatan. Kesemuanya itu bukanlah hakekat sebenarnya cinta. Tapi semua itu hanyalah nafsu belaka.

Dua hari setelah kejadian didepan masjid. Aku harus pindah sekolah. Aku akan dipindahkan kesebuah kota tempat Bapakku bekerja. Dan itu adalah sebuah perpisahan dari cinta pertamaku. First love never die. Kan kubuktikan kata-kata itu ditempat baruku.Hal kepindahanku tak kukabari pada teman-temanku. Dan juga pada Lia. Aku tak mau melihatnya menangis untuk kedua kalinya. Biarlah aku yang menangis meratapi cinta pertamaku yang begitu tragis. Namun aku bertekad. Aku pergi untuk kembali. Menyatakan hakekat sebenarnya cinta. Padanya. Ya, hanya padanya.

Sebuah senyuman dipagi buta menyalami kepergianku pada sebuah bangunan yang masih kosong. Selamat tinggal sekolahku. Hatiku membatin.

***

8 tahun sudah dari pindahan sekolah dulu aku tinggal dikota ini. Kota yang penuh dengan fasilitas yang lengkap. Tapi ada saja sebagian manusia yang tidak menyadarinya. Entah itu sengaja atau tidak sengaja. Melihatnya dengan mata atau dengan nafsu. Tapi beginilah suasana kota yang kutempati hingga saat ini. Penuh dengan tanda tanya.

Selama itu pula aku tidak pernah berjumpa dengan Lia. Padahal aku sering pulang kekota itu. Tapi tak didapati Lia ketika aku melewati rumahnya. Setelah beberapa kali aku pulang kekota itu. Angin mengabarkan bahwa Lia sekolah SMU dikota lain. Dan bekerja dikota itu juga. Aku sedikit lega mendengarnya walau aku belum bisa menemuinya.

Beberapa bulan kemudian aku kembali kekota itu. Berharap padaNya semoga aku bisa dipertemukan. Aku ingin menjawab kebingungannya didepan masjid waktu itu. Aku ingin menjalin hubungan yang lebih serius. Aku ingin melamarnya. Gajiku saat itu cukup untuk kami berdua. Pikirku.

Alhamdulillah, setelah aku keluar dari SMK. Aku bisa bekerja walau harus nganggur terlebih dahulu selama 6 bulan. Aku bekerja disebuah perusahaan swasta dengan gaji diatas UMR ( Upah Minimum Regional ). Hingga terbesit dibenakku untuk melamarnya. Aku tidak lagi memikirkan untuk pacaran terlebih dahulu. Untuk mengenal kepribadian masing-masing lebih dalam lagi. Toh, yang pacaran sudah lama saja bisa kandas ditengah jalan. Sebab pacaran tidak menjamin hubungan akan kekal hingga jenjang pernikahan. Aku ingin menikmati indahnya pacaran setelah menikah. Seperti gambaran beberapa buku yang pernah aku baca.

Ternyata Allah berkehendak lain. Kepulanganku saat itu merupakan sebuah kesedihanku kedua kali dari dirinya. Aku mendapatkan kabar bahwa dia telah menikah sebulan yang lalu dengan rekan kerjanya. Lagi-lagi aku terlambat. Seandainya waktu kepulanganku diawal bekerja yang lalu aku meminta no teleponnya yang bisa dihubungi. Mungkin peristiwa tersebut tidak akan terjadi. Ternyata Allah mempunyai skenario sendiri untukku. Bidadariku ternyata memang bukan untukku. Dia bukan jodohku. Akupun kembali ketempat tinggalku dengan membawa kesediahan yang sangat mendalam. Hidupku kembali tergoncang.

Ya Allah. Kini aku semakin yakin akan kehendakMu. Orang yang begitu aku kenal belum tentu Ia adalah jodohku. Orang yang begitu dekatpun belum tentu menjadi jodohku. Kini, aku tidak meminta orang yang kukenal dan dekat denganku menjadi pendampingku kelak. Tapi aku berharap padaMu, berikanlah yang terbaik untukku. Dan sholehah. Amin.

( Semoga pernikahan kalian menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Amin )

salam,
arana
.:: dalam karya kubicara ::.
posted by arana (acep ruswana) @ 12:15 PM   0 comments
Monday, August 14, 2006
Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un
Ketika segenggam ruh terpanggil
Keraguan tak bisa dielakkan
Jiwa meregang sakit menjalar
Kenangan terbang sisakan bayang

Sayup-sayup tangisan mulai menjauh
Bayang-bayang dosa dekat melintas
Ketika sang wajah mendekat
Jelas terbaca suasana derita

Mencoba menepis dalam taubat
Mengulur waktu memanggil asma-Nya
Kaku mulut ini mengucap
Tertahan rasa sakit kian mencekik

Berontak kini terlambat
Teriring ruh ini terpanggil
Ringan melangkah meninggalkan jiwa
Tak ada harum bunga mengantar
Hanya satu kalimat terdengar
Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un
posted by arana (acep ruswana) @ 6:14 PM   0 comments
Teguran Kesekian Kali
Belum kering luka di pagi
Masih membekas cintaku berlari
Pergi, dan tiada kembali

Belum hilang wajahnya terbang
Teriris hati sudahlah tak terbayang
Menatap cintaku dalam diam

Belum genap 2 bulan melangkah
Belum sirna teguran menampar
Belum sempat jiwa merubah
Belum
Ah, sulit

Menyapa alam selaksa bertanya
Apa arti semua ini ?
Siapa yang bersalah ?
Manusiakah ?
Jiwa mengerti, tapi tak mau peduli

17 Juli 2006
Pangandaran Menangis
posted by arana (acep ruswana) @ 6:09 PM   0 comments
Kala Yogya Bergetar
Kabut masih menyelimuti
Lentera pagi masih terlalu cepat dinyalakan
Bayang-bayang mimpi masih lekat tersimpan

Terasa pijakanku bergetar
Ular menjalar didinding sekitar
Merambat cepat membelah suasana

Denting kencang mulai terdengar jelas
Teriakan histeris membangunkan hati
Asma-Mu terdengar meramaikan pagi
Seketika alam sadarku beraktifitas

Reruntuhan didepan mata memaksaku beranjak
Dinding roboh terkulai lemah
Puing-puing saling berlomba mencapai tanah

Lari
Larilah
Cepatlah pergi
Hatiku berteriak memaksa tubuhku bergerak

Inginku ini hanyalah mimpi
Secepat mungkin tubuh ini terus berlari
Dan
Ketika kumenoleh kebelakang
Tiada lagi bangunan yang menyimpan kenangan

Semua
Terhimpit
Dan musnah dalam reruntuhan

27 Mei 2006
Yogya Menangis
posted by arana (acep ruswana) @ 6:08 PM   0 comments
Bunda
Bunda
Semalam mimpiku berjuta warna
Lautan pesona biaskan cinta
Peri-peri kecil berlari memanggil

Dalam kisah mereka bercanda
Diajaknya ku menari
Terbang tinggi mengitari bumi

Bunda
Mengapa lama kau pejamkan mata
Perangai layu pudarkan rasa
Senyuman manjaku tiada tersapa

Bunda
Mengapa sepatah kata tak terucap
Sepenggal ceritaku kau biarkan lenyap
Bunda, bangun bunda
Dengarkan ceritaku

27 Mei 2006
Yogya Menangis
posted by arana (acep ruswana) @ 5:53 PM   0 comments
Manusia Hanyalah Manusia
Manusia hanyalah manusia
Terpikir bisa melakukan segalanya
Hati memelas pada jiwa yang tak pantas
Tangan menengadah pada sesuatu yang dibawah

Manusia hanyalah manusia
Makhluk sempurna yang tiada berdaya
Kekhawatiran merapi beraksi
Mimpi terkulai luluhkan hati

Manusia hanyalah manusia
Bumi tunduk dengarkan perintah
Getarkan Yogya berikan hikmah
Pada jiwa yang selalu lupa
Yang berakal terkadang dangkal
Yang bersumpah menjadi sampah

Manusia hanyalah manusia
Pantaskah Tuhan berikan ini semua ?
Tanyakan pada jiwa yang jarang mengemis
Manusia hanyalan manusia
Tuhanlah Maha Segalanya

27 Mei 2006
Yogya Menangis
posted by arana (acep ruswana) @ 5:48 PM   0 comments
Saturday, April 22, 2006
Sepekan
sepekan ku mencoba bertahan
dalam resah kucoba terdiam
menangis dalam sebuah senyuman
berharap angan menjadi kenyataan

rindu hanya kutanam
biarlah besok lusa tumbuh subur
rindang dan berbuah segar
dari jauh kutatap sabar

terdengar sayup hati menyapa
jiwa menjerit dikeheningan malam
memandang berharap kan datang
menyatu disetiap kehidupan

namun
kini dia telah hilang
bersama debu beterbangan

sepekan
kucoba untuk bertahan
seyakin dia kan datang

Jakarta, 22 April 2006
Arana
acep.irwan@gmail.com
posted by arana (acep ruswana) @ 7:04 PM   0 comments
Rindu
tirai terbuka nampaklah ceria
ukiran senyum menebar aroma
awan menatap bidadari tiba
pelangi jiwa sambut gembira

sesaat terpana dalam suasana
menyatu dalam buaian jiwa
teriring hembusan angin menyapa
larut dalam keinginan nyata

kuberlari mencari setengah hati
dalam langkah kian menjelma
terukir pesona raga
membekas dalam setengah hati
rindu, untukmu aku berlari

Jakarta, 22 April 2006
Arana
acep.irwan@gmail.com
posted by arana (acep ruswana) @ 6:20 PM   0 comments
Saturday, February 25, 2006
Ketika Adzan Shubuh
terlena dinginnya malam
terpekur dalam-dalam
kehanyatan masuk keseluruh jiwa
menyambung angan yang terangkai

mengalun menjalar dalam udara
seolah suara itu enggan disapa oleh jiwa
dinginpun tak berani menusuk
keinginan hanya bertempur dalam angan
hingga raga tersungkur dalam-dalam

hidup seakan takkan mati
terus terangkai dalam mimpi
terus ...
dan terus ..
hingga suarapun tersapu angin

Salam,
Arana
acep.irwan@gmail.com
posted by arana (acep ruswana) @ 2:04 PM   0 comments
Dalam diam
berandai lepas dalam sejenak
mengikis angan didalam benak
tertegun dalam ruang yang hampa
menatap hari yang mungkin tak terasa

dalam diam ada rasa
dalam mimpi ada hati
berseru memanggil
berteriak menghujat
namun
semua dalam diam

hari berganti tak terulang lagi
disaat diam tak ada arti
penyesalan tak lagi dipungkiri
disaat itu aku berlari
mengejar mimpi
tapi tidak dalam diam

Salam,
Arana
acep.irwan@gmail.com
posted by arana (acep ruswana) @ 12:22 PM   0 comments
Monday, August 29, 2005
Terukir Kembali
" Astagfirullah, gw hanya tny kbr lu. Tp kl lu ga berkenan, maafin gw " kutekan tombol select, kemudian kutekan kembali tombol tersebut setelah tampil kata send. SMS Reply kini terbang menuju tujuan.

Terpukul hatiku setelah mendapat jawaban SMSnya. Aku yang hanya menanyakan kabar serta spesifik pakaiannya. Ketika tak sengaja seorang wanita lewat didepanku. Aku sempat terpesona. Namun sesaat hilang pesonaku setelah teringat wajahnya mirip sekali dengan teman SLTPku dulu. Hitam rambutnya dan panjangnya sebahu. Berbelok kedalam disetiap ujung rambutnya.
Keindahan wajahnya masih berbekas dalam memoriku. Itu yang membuatku teringat kembali. Seorang wanita yang duduk didepanku ketika masih sekolah dulu.

" Depok....Depok....Depok....". Astagfirullah, suara itu cukup membuatku berpaling dari wajahnya. Ternyata bus yang hendak kutumpangi telah tiba. Segera kudekati. Namun sesekali kulihat wajahnya. Aku masih penasaran. Apakah dia temanku ?

Semilir angin AC bus cukup mengobati rasa panasku. Setelah setengah jam aku menunggu ditemani senyuman dari sinar matahari siang. Armada bus ini sedikit sekali. Karena penumpangnya akan ramai pada saat pagi dan sore saja.

Aku duduk dikursi dua dan dekat dengan kaca bus. Lagi-lagi bayang wajahnya terlukis indah dikaca mobil. Melintas dihadapanku dengan pesona wajah yang sangat indah. Syetan memang paling pintar mempermainkan suasana disaat waktu sedang kosong.

Kuhirup udara segar dari AC mobil. Sejuk terasa hingga keseluruh tubuhku. Kucoba membuka memori masa SLTPku sewaktu kelas 2. Sebuah nama sempat kutata rapi dalam hatiku. Wulan. Titisan rembulan yang sinarnya lembut seperti sikapnya.

***

" Wulan, tuh kan jadi kecoret " lagi-lagi dia menggangguku yang sedang asik membuat puisi.
Dia duduk tepat didepanku. Hanya dengan membalikkan badannya, dia sudah bisa asik menggangguku. Tapi walaupun demikian, aku tidak bisa marah atas kelakukannya. Aku hanya bisa memperlihatkan padanya hasil kejahilannya tanpa dibumbui rasa marah sedikitpun. Makanya dia tidak pernah bosan untuk terus mengganggu aktifitas mengarangku.

Keriangan Wulan yang asik menggangguku, membuat seorang temanku cemburu. Menurut gosip kelasku. Yang dipresenterkan oleh artis lokal yaitu Yanti. Doni yang duduk dibarisan kedua dari belakangku diam-diam menaruh perhatian sama Wulan. Tapi wulan menanggapi gosip itu sebagai angin yang cepat berlalu. Kadang Doni sering melirik kearah kami jika Wulan gembira atas keberhasilannya menjahiliku.

Dalamnya laut bisa diukur, tapi dalamnya hati siapa yang tahu. Mungkin peribahasa tersebut pantas kuberikan pada Doni. Sikapnya yang pendiam didalam kelas. Jarang bercanda dengan teman sekelasnya. Diluar kelas, dia sangat berbeda.

Sepulang jam sekolah. Aku harus bergegas keluar kelas untuk segera pulang. Karena letak sekolahku lumayan jauh dari jalan raya. Makanya aku harus berjalan kaki menelusuri gang yang sempit. Aku sengaja melewati jalan kecil agar jaraknya tidak terlalu jauh.

" Arif tunggu " sebuah suara memanggilku dari belakang. Ternyata Doni bersama teman sebangkunya mengikutiku. Padahal jalan ini bukan jalur untuk menuju rumahnya.
" Ada apa Don ? Kok lewat sini, tumben ? " aku sedikit berbasa-basi sekaligus bingung.
" Gue cuman mau ngingetin sama lu. Jangan terlalu deket sama Wulan " suaranya sedikit mengancam.
" Tar dulu Don. Perasaan, gue ga merasa ngedeketin dia "
" Alaaahh, jangan bohong deh. Gue liat sendiri dikelas tadi, lu asik bercanda sama dia "
" Don sabar, hubungan kita hanya sebatas teman. Nggak lebih. Kita sering bercanda karena tempat duduknya berdekatan. Percayalah Don " aku mencoba menenangkan perasaannya yang sepertinya sudah dibakar dengan rasa cemburu.
" Alaaahh, banyak omong lu " BUKK.

Lengannya mendarat tepat dipipi kiriku. Badanku sedikit bergoyang namun tak sampai jatuh. Terasa sebuah cairan keluar dari balik bibir kiriku. Sakit. Diapun pergi bersama meninggalkanku sendiri dalam kesakitan. Meninggalkan sebuah lukisan dipipiku. Ingin rasanya aku membalasnya. Memukul seperti dia bahkan lebih dari itu. Bila perlu kupatahkan semua tulang-tulangnya agar dia jera. Tapi aku tak mampu. Pelajaran sabar yang seminggu lalu telah kudapat, membuatku berpikir resiko yang akan dihadapi dikemudian hari.

" Rif pipi lu kenapa ? " Wulan terlihat kaget melihatku. Dia baru saja datang dipagi itu. Setelah aku yang biasa datang paling awal.
" Nggak apa-apa, biasa kepentok pintu " aku cengengesan.
" Masa kepentok sampe biru begitu ? " ternyata Wulan tidak percaya dengan alasanku. Dia terus mendesak. Mencari sebuah kenyataan.
" Ya, bisa aja kalo kepentoknya kenceng " aku terus mempertahankan pendapatku.
" Ooo ya udah, makanya kalo jalan liat-liat " akhirnya diapun mengalah. Dia langsung bergegas menuju kantin bersama temannya. Setelah ia menawarkanku untuk bergabung. Namun aku menolaknya. Nanti tambah deh lukisan berwarna biru dipipiku.

Ternyata kejadian kemarin, salah satu murid kelas 1 melihatnya. Dia salah satu murid yang aktif di OSIS. Sama seperti Wulan. Karena Wulan adalah sekertaris OSIS. Jadi dia sudah sering bertemu dengan anak 1 kelas tersebut dalam setiap rapat OSIS.

Waktu terus berlalu. Matahari tersenyum pada rembulan dikala senja. Menyalami untuk minta menggantikan tugas pada rembulan. Tiga hari sudah lukisan biru tak berbentuk dipipiku. Namun kini sedikit demi sedikit dihapus oleh waktu. Menyisakan sisa-sisa penyembuhan. Tapi walaupun demikian, ada bagian tubuhku yang belum sembuh dan mungkin takkan pernah sembuh. Masih berbekas.

" Ooo jadi lu yang bikin pipi Arif bonyok begitu " pagi itu menjadi pagi yang sangat menegangkan. Ketika Doni datang sepuluh menit sebelum bel masuk, Wulan sudah berdiri tegak didepan meja Doni. Terlihat Doni jadi salah tingkah sekaligus kebingungan. Termasuk aku.
" Heh kalo berani ngomong sama gue, Arif ga salah. Lu cemburu ceritanya ma gue ? Emang lu pikir gue suka ama lu ? " mendadak keramaian kelas kini berubah menjadi sebuah kuburan. Sepi. Donipun hanya bisa menunduk. Dia tidak berani menjawab. Dia hanyut dalam kebingungan.

" Wulan, udah jangan diperpanjang. Lagipula gue kan udah sembuh " aku coba mendekat mencairkan suasana.
" Ga bisa gitu dong Rif, orang kaya gini harus diberi pelajaran. Harus dibales, bila perlu kita laporin aja ke Kepsek " suara Wulan lantang terdengar. Doni kontan wajahnya mulai terlihat.
" Wulan, jangan dibawa Kepsek segala ah, emang ini masalah besar ? "
" Biarin biar dia jera "
" Wulan, kalo kejahatan kita balas dengan pembalasan yang bobotnya lebih dari yang dia lakukan, itu bukan jalan terbaik. Karena setelah itu sedikit sekali orang yang akan sadar dengan apa yang telah diperbuatnya. Sisanya mereka akan membalas lebih dari sebelumnya. Dan kalo itu terjadi, kapan perselisihan itu akan berakhir ?. Terus-menerus mencari balasan yang membuatnya puas. Sudahlah, ada yang lebih berhak membalas perbuatannya. Serahkanlah padaNya, sebab Ia Maha Adil. Percayalah " terlihat Wulan sedikit demi sedikit emosinya reda. Dan akhirnya dia mengerti.
" Maafin gue Rif, gue terlalu berlebihan " diapun akhirnya menuju bangkunya, setelah meninggalkan sorot matanya yang tajam pada Doni. Bel masukpun berbunyi.

Hari itu istirahat aku ingin didalam kelas. Tidak ada semangat untuk makan. Kejadian pagi tadi masih berbekas. Apalagi sorot mata Doni mengisyaratkan sebuah kebencian yang bertambah dari sebelumnya. Mungkin dia berpikir aku telah mengadu kejadian itu pada Wulan.

" Assalamu 'alaikum " suara Hanif cukup menarikku dari dunia lamunan.
" Wa'alaikum salam, eh lu Nif "
" Kok nggak istirahat ? " dia duduk disampingku, menatapku dengan senyuman.
" Lagi males Nif, lu sendiri kenapa gak istirahat ? " aku masih asik dengan posisi kepala yang tertumpu pada kedua tangan diatas meja.
" Lagi nggak " dia tersenyum. Aku sudah paham dengan jawabannya. Ini hari kamis, dan dia rajin puasa sunah.

Aku ingin sekali mencari teman untuk mendengarkan keluh kesah yang saat ini mengganjal dihati.
" Kamu masih memikirkan masalah pagi tadi " tiba-tiba dia bicara demikian seolah dia tahu dialog hatiku. Kucoba menatap wajahnya yang sudah terlihat tersenyum. Aku hanya bisa mengangguk.
" Arif, kamu tahu kan batasan dalam berteman dengan lawan jenis. Sebesar apapun kita mempertahankan prinsip bahwasanya hubungan yang terjalin hanya sebatas teman biasa. Apakah waktu yang akan datang kita bisa menjamin prinsip itu takkan tergoyah ?. Kita hanya manusia biasa yang takkan bisa mengetahui waktu yang akan datang. Walaupun hanya satu detik." aku hanya bisa diam meresapi perkatannya.
" Arif, lakukan sesuatu sebelum terlambat. Sebelum prinsipmu berubah. Sebab syetan sangat pintar mempermainkan keadaan, dia bisa saja menyamarkan sesuatu yang salah menjadi benar."
" Terus, apa yang harus gue lakuin sekarang ?"
" Kamu pindah tempat duduknya. Bangku sebelahku masih kosong. Jika kamu mau, aku ikhlas kasih buat kamu " dia tersenyum sambil menepuk bahu kananku.

Akhirnya aku pindah tempat diawali dengan bel istirahat selesai. Terlihat Wulan melihatku dengan kebingungan. Aku hanya sekilas menjawab tatapannya dengan sebuah senyuman. Kemudian aku lanjutkan melakukan kebiasannku sambil menunggu guru. Membuat puisi.

***

Peeettt. Badanku tersungkur kedepan. Hampir kepalaku menabrak senderan kursi depan. Sumpah serapah terdengar dari kenek dan sopir bus. Setelah kulihat yang terjadi, ternyata ada pejalan kaki yang menyebrang dengan mendadak. Alhamdulillah tidak ada korban. Namun menyisakan detak jantung yang berdetak begitu cepat.

Akupun kini telah kembali dari dunia lamunan. Menyisakan sebuah kenangan. Dan memaksa tanganku untuk mengambil HP dari kantong celana.

Kubuka sms inbox. Terlihat terakhir sms dari Wulan yang membuatku menelusuri dunia masa lalu. Kubuka sms itu. Perlahan kubaca isi sms. Kutelusuri kata demi kata mungkin mataku salah mengartikan kalimat tersebut. Tapi apa yang tertera dilayar HPku benar adanya. Mataku tidak salah membaca.
" Jangan SMS gue lagi, gue udah punya PACAR/TUNANGAN. Paham "

Salam,
Arana
acep.irwan@gmail.com
posted by arana (acep ruswana) @ 8:33 PM   0 comments
Saturday, August 13, 2005
Desaku Yang Hilang
Minggu pagi menjelang ditemani hangatnya sinar mentari. Telihat suasana di sekitar tempat kostku masih sepi. Mungkin karena ini hari libur jadi masih banyak yang bermain di dunia mimpi. Tapi sebagian para remaja memanfaatkan hari libur ini dengan berolahraga lari pagi. Tujuan mereka adalah sebuah lapangan bola samping tempat kostku. Disana dekat pula dengan perumahan dan mall. Sehingga daerah stategis tersebut banyak dikunjungi. Tapi tidak termasuk aku. Mentari mulai meningkatkan kekuatan sinarnya. Aku masih asik dengan kegiatanku. Menonton televisi dengan acara kartun ditemani sarapan nasi uduk dan nyenyaknya temanku yang tidur kembali setelah shalat shubuh. Namun sebuah suara memanggilku dari luar. Kuberanjak pergi meninggalkan acara kesukaanku.Terlihat sesosok
lelaki yang tinggal didepan kostku bersebrangan dengan jalan setapak. Dia adalah teman kostku.

" Ini apa Dan ? " kuterima amplop pemberiannya dengan menerawangi amplop tersebut dengan tujuan untuk mengetahui isinya. Mudah-mudahan uang kiriman orang tua, kan lumayan untuk tambahan bekal kuliahku. Bicaraku dalam hati.
" Jum'at kemaren ada tukang pos titip ini buat lu. Sorry baru inget sekarang "
" Ooo...gak apa-apa lagi, justru gue yang harus bilang terima kasih "
" Ya udah gue pergi dulu yah " temanku pergi dengan senyuman yang khas. Pakaiannya rapi disertai bau harum yang masih tercium walau orangnya sudah jauh. Mungkin karena parfum bermerk, jadi tahan lama. Tapi dia mau kemana pagi-pagi begini ?. Kerumah pacarnya ?. Loh kok aku malah memikirkannya. Aku kan harus memeriksa isi amplop ini. Aku hanya bergumam sambil sesekali melihat temanku yang hilang terhalang belokan gang. Perlahan kubuka amplop dikursi depan kamarku. Terlihat tulisan yang sepertinya pernah aku kenal. Yah bukan uang, sesekali ku bergumam dalam hati. Kucoba membaca tulisan itu dengan seksama.

Kepada
Sahabatku Andi
Ditempat


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Andi apa kabar ? semoga dikala kau membaca surat ini dalam keadaan sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT, amin. Semoga kuliahmu lancar dan cita-citamu cepat tercapai.

Andi, aku mengirim surat ini bermaksud untuk mengabarkan keadaan desa kita. Desa dimana kita dilahirkan. Yang mengajarkan kita untuk bersyukur dengan fenomena yang begitu indah hingga sulit diungkapkan dengan kata-kata. Pematang sawah yang luas terukirkan sebuah warna hijau yang menyejukkan hati ketika memandangnya. Deburan air sungai yang jernih disore hari ketika mandi beramai-ramai. Setelah itu kita menyaksikan sebuah karya
Maha Agung diufuk barat. Indahnya mentari senja dan sinarnya menghangatkan badan kita yang kedinginan setelah beberapa saat kita bermain air sungai. Andi semoga kenangan itu tak cepat kau lupakan.


Kupandangi langit yang masih berselimutkan awan pagi. Tergambar disana sebuah desa tempatku dibesarkan. Aku rindu. Rindu akan teman-temanku. Rindu akan suara kokok ayam yang menjadi jam wekerku. Rindu dinginnya udara pagi yang harus kupaksakan untuk menghadapNya. Rindu akan kicauan burung yang melepasku untuk pergi kesekolah. Aku benar-benar rindu.

***

" Andi, kamu sudah yakin dengan niatmu itu ? " kami duduk diteras musholla berdampingan sambil menunggu sang surya tiba.
" Aku sudah siap Mat, aku ingin melaksanakan amanah almarhum bapakku untuk menjadi Sarjana "
" Tapi kamu kan tahu kalau kota Jakarta itu kehidupannya keras, kadang tak mengenal belas kasihan. Mereka kadang tak lagi mengenal apa itu saudara. Aku khawatir kamu malah terjerumus dan menjadi salah satu dari mereka "
" Alhamdulillah aku masih punya sahabat sepertimu. Tapi insyaAllah aku akan selalu Istiqomah dan tolong bantu aku dengan do'a agar aku tetap Istiqomah dijalanNya " sejenak dia terdiam mendengar penjelasanku. Dan akhirnya dia mau mengerti juga dengan niatku.
" InsyaAllah " akhirnya dia tersenyum. Mamat adalah sahabatku dari kecil. Kami selalu bermain bersama, berangkat sekolah bersama, mengaji bersama karena kebetulan jarak rumah diantara kami hanya terhalang oleh satu rumah.

Mentari tiba dengan pancaran yang menghangatkan jiwa. Kicauan burung bernyanyi disela ranting yang berdaun hijau. Sahutan ayam jantan berkokok mengabarkan sang surya telah tiba. Para petani yang sudah menyiapkan perlengkapan dari shubuh sudah mulai menapakkan kakinya menuju pematang sawah. Cangkul mereka taruh dipundak kiri dibarengi tangan kanan yang menjepit sebuah kretek yang sesekali dia hisap. Tak lupa seorang wanita mengikutinya dengan membawa bakul yang digendongkan dibelakang. Sesekali mereka berhenti menegur sapa dengan petani yang lain.

" Andi udah yuk, nanti kita kesiangan berangkat sekolahnya " matahari memang sudah menampakkan seluruh badannya. Kami berlari kecil menuju rumah masing-masing untuk bersiap-siap dan selanjutnya belajar disekolah.

***

Kucoba menarik nafas sedalam-dalamnya dan kubuang dengan segera. Senyuman kuhadiahkan pada awan yang mulai memberikan jalan pada sang surya. Kilauan sebuah cahaya kini mulai nampak jelas sang raja siang telah kembali dari peraduannya. Perlahan kubaca kembali surat dari sahabatku.

Andi ternyata hidup tak sesuai dengan keinginan kita. Semua sudah ada yang mengatur dan kita tidak mempunyai kekuatan untuk merubahnya. Desa yang dulu penduduknya rata-rata rajin beribadah. Musholla dan Masjid selalu ramai dikunjungi ketika panggilanNya memanggil. Namun kini sepi tanpa ada kehidupan. Hanya segelintir manusia yang masih mau menginjakkan kakinya dirumah Allah. Semenjak ustad Hasan meninggal semua telah berubah.

Innalillahi wa innna ilaihi raji'un. Aku tak bisa membayangkan desaku tanpa seorang ulama.

Andi setelah meninggalnya ustad Hasan dan jarangnya tempat ibadah dikunjungi. Desa kita mulai sering diserang bencana. Dari segi cuaca yang mulai jarang turun hujan hingga menyebabkan ladang sawah kekeringan dan matinya tanaman padi. Selain itu maraknya judi dan mabok-mabokkan sudah mulai terang-terangan. Dan parahnya lagi pergaulan remaja yang sudah bebas hingga mereka tak malu lagi melakukan dosa ditempat umum.

Andi aku sedih melihat ini semua. Jalan dakwah yang kutempuh bersama segelintir manusia yang masih Istiqomah dijalanNya semakin hari semakin berat. Mereka kini tak mengindahkan perkataan kami. Ketika kami mencoba mendekati dan menasehati mereka, hanya cacian yang kami dapat. Suara keras yang menyalahkan Tuhan dan diakhiri dengan perkataan "sok suci". Seolah suara kami adalah musik keras yang mengganggu gendang telinga mereka.

Andi yang lebih parahnya lagi, para penduduk mulai bergeser pada hal-hal yang menyekutukan Allah. Mereka mencoba mencari kekayaan dengan waktu yang singkat. Mereka memelihara mahluk halus dan bahkan ada yang rela menjadi binatang. Semua itu demi harta. Tak heran sekarang banyak rumah penduduk yang mewah. Berlantaikan keramik yang bisa untuk
bercermin. Halaman rumah yang luas ditanami bunga-bunga yang warna-warni. Sebuah mobil bertengger digarasi samping rumah mereka. Dan jalanan becek kini sudah jarang ditemui. Sungguh ini bukan seperti desa yang kita kenal. Asing dan gersang.


***

" Alhamdulillah pengajian kian minggu kian ramai aja yah Di "
" Alhamdulillah. Mudah-mudahan ini awal yang bagus untuk kelangsungan dakwah didesa kita "
" Eh Di minggu depan kira-kira temanya apa yah untuk pengajian nanti ? " Mamat matanya menerawang kelangit-langit musholla dengan uang infak yang masih belum selesai ia hitung.
" Hey lanjutin tuh kerjaannya, jangan terlalu lama melamun " kusenggol lengan kanannya yang mengepal uang infak. Dia kaget dan kontan uang yang dipegangnya jatuh tak beraturan.
" Astagfirullah, aduh kira-kira dong ngagetinnya " dia mencubit lengan kananku sebagai tanda balas. Namun aku langsung membalasnya kembali dengan sebuah ledekan.
" Abis ente mikirnya terlalu lama sih. Mikir tema apa mikir calon mama ? " ledekku sambil tersenyum kecil. Kontan matanya melotot menatapku. Namun tak lama kemudian senyum dan tawa mewarnai ruang musholla kecil itu.

***

Kurebahkan kepalaku disandaran kursi. Terlihat langit-langit rumah kost yang berwarna putih sedikit lusuh. Mungkin karena kurang perawatan. Seperti desaku yang penduduknya sudah jarang dirawat dengan keimanan. Maka sikap dan pola hidup mereka jauh dari ridhoNya. Sungguh ada kesalahan mengganjal dalam batinku, Aku yang seharusnya membantu
mereka dalam berdakwah. Tapi aku lebih mementingkan kepentingan pribadiku. Mamat ma'afkan aku. Batinku terus-menerus beraktifitas tak henti berbicara. Aku coba melanjutkan isi surat dari sahabatku.

Andi akhir-akhir ini aku sedikit khawatir. Hingga aku sulit memejamkan mata ketika malam menjelang. Sebuah surat dengan pesan singkat berisikan sebuah ancaman selalu menggangguku dan itu entah dari siapa. Dia menginginkan aku berhenti untuk berdakwah. Berhenti menasehati pada penduduk yang sedang asik dengan kegiatan penambah dosa. Jika aku tidak mengindahkannya, maka tak segan-segan dia akan membunuhku.

Andi aku sekarang sedang dalam kebingungan. Satu sisi aku harus menunaikan kewajiban sorang muslim. Dan disisi lain nyawaku sedang terancam. Andi haruskah aku pergi dari desa ini dengan meninggalkan sebuah kegelapan desa kita ?. Atau harus tetap tinggal disini dengan mengabaikan surat peringatan tersebut walau nyawaku taruhannya ?. Andi andaikan
kau berada disini mungkin beban ini akan sedikit ringan. Semoga ini adalah ujian yang Allah berikan sebagai tanda cinta pada hambaNya.

" Astagfirullahal 'adzim, inikah desaku ? " kesedihan kini mulai merasuki hatiku. Bendungan kini sudah tah tertahan lagi. Air matapun mulai menitik satu persatu membasahi kertas surat. Aku merasakan beban berat yang ditanggung oleh teman-temanku terutama Mamat sahabatku. Sebuah cacian harus mereka jadikan buah kesabaran. Dan ancaman menjadikan sebuah pendekatan lebih pada sang Khaliq. Andi inilah jalan dakhwah. Penuh dengan kerikil-kerikil yang tajam dan menyakitkan. Tapi dibalik semua itu ada cahaya terang menanti orang-orang yang lulus dari ujian yang Allah berikan.

" Ya Allah kuatkan iman mereka, berilah kesabaran pada mereka. Berilah sedikit kekuatanMu untuk memerangi orang-orang yang menghambat dalam proses pengembalian keadaan desaku seperti semula. Desa yang penuh dengan kedamaian. Sopan santun dan keramahan terpancar dari raut wajah yang senantiasa menantikan sebuah senyuman dibalik bibir para tetangga yang lewat. Pengajian malam terasa begitu mengharukan hingga memecahkan suasana malam
yang dingin. Aku ingin semua itu terlihat kembali. Ya Allah bantulah perjuangan mereka ".

Aktifitasku sedikit terusik oleh suara yang bersumber dari dalam kamarku. Bergegas kuhampiri sumber suara yang terus-menerus memanggilku.
" Ada apa Jar ? " terlihat dia sedang memegang sebuah ponsel milikku dan memberikannya padaku.
" Ada telpon buat lu, katanya sih dari kampung " setelah mendengar pernyataannya langsung kugapai benda itu.
" Assalamu 'alaikum " terdengar jawaban dari sebrang sana dengan nada rendah.
" Yah saya Andi "
" Apa ?, kapan ? " aku mulai panik dan ..... rongga nafasku seperti ada yang menyumpat. Sebuah bongkahan yang begitu keras seperti tak bisa tertahan lagi dari tubuhku. Aku ingin menangis dengan sekeras-kerasnya jika kumampu. Tapi itu tak bisa aku lakukan. Aku hanya bisa mendengarkan pernyataan dari sebrang sana dengan kesedihan yang meluap campur
dengan ketidak percayaan. Apakah ini sudah berakhir ?. Tubuhkupun terkulai lemas tanpa tulang.
" Astagfirullahal 'adzim, ..... inna lillahi wa inna ilaihi raji'un "

Salam,
Arana
acep.arana@yahoo.co.id
posted by arana (acep ruswana) @ 12:32 PM   0 comments
Saturday, July 23, 2005
Ibu, maafkan kami
Senin pagi di kota Jakarta, mungkin sebagian orang sangat dikeluhkan,terutama untuk para pekerja. Selain macet juga banyak yang mengejarwaktu untuk lebih cepat sampai ditempat tujuan. Termasuk Aku. Akuharus menempuh perjalanan dengan waktu sekitar 45 menit, itu apabilatidak macet. Pagi ini aku prediksikan, mungkin akan memakan waktu 1 jam lebih untuk bisa sampai kantor.

Sekitar pukul 06.30 pagi, sebuah halte daerah tempatku biasa menyetopkendaraan umum, sudah mulai terlihat ramai dikunjungi. Mulai dari anaksekolah sampai pekerja kantoran sudah siap menghadang kendaraan merekayang siap mengantarkan sampai tujuan. Terlihat dari kejauhan nampaksebuah bis yang biasa kunaiki semakin mendekati. Namun tak hanya akuyang berminat dengan kendaraan itu, ternyata hampir sebagian daripenghuni halte itu menyerbu kendaraan tersebut.

Akhirnya dengan perjuangan yang cukup melelahkan, aku bisa masuk walaudalam kerumunan orang. Kebetulan kendaraan tersebut tidak terlalupenuh, jadi penghuni halte yang menanti bis tersebut bisa semuanyamasuk walau harus rela untuk berdiri hingga depan pintu. Terlihatseorang wanita berusia sekitar 40-an menaiki kendaraan yang samakunaiki. Dia tertatih-tatih menelusuri kerumunan orang untuk bisamasuk kedalam. Aku coba terus memperhatikan wanita tersebut hingga diaberada tepat disampingku.

Kuperhatikan disekelilingku, tak ada pergerakan apapun. Mereka hanya diam dengan santai dikursi yang empuk, seolah tak menghiraukan wanita itu. Padahal dilihat dari postur tubuh, mereka lebih kuat untukberdiri menggantikan siwanita sampai tujuan mereka bahkan lebih.Tangannya mencoba mencengkram senderan kursi. Terlihat tubuhnya yang sedikit kurus ditelan waktu mulai menstabilkan dengan maju kendaraan.Sesekali tubuhnya menghimpitku karena pegangannya yang tidak kuat.
Kucoba menyapanya," Ibu mau pergi kerja ? ", dia mulai mengalihkan pandangannya munuju wajahku.
" Tinggalnya daerah mana Bu ? "
" Daerah Pasar Baru "
" Memang ga minta dijemput sama anak Ibu ? "
" Anak Ibu kerja, ga ada waktu tuk menjemput. Pekerjaannya terlalusibuk, Ibu takut menggangu pekerjaannya seandainya minta dijemput "jelasnya sambil sesekali membenahi pegangannya disenderan kursi. MasyaAllah, terlintas bayangan ibuku dikampung halaman. Mungkin dia sedangmerindukan diriku, lalu mencoba berkunjung keJakarta, dan dalamperjalanan dia berdiri didalam kendaraan hingga tujuan.

Ada rasa kesedihan merasuk dihati ini, mengapa mereka duduk bersantaitak menghiraukan wanita itu?. Apakah mereka tak berpikir apabila ibumereka diperlakukan seperti itu, mereka tega ?. Kulihat wajah wanitaitu, garis-garis penuaan sudah mulai terlihat. Seandainya Rasulullahmasih hidup, mungkin beliau akan menangis melihat situasi seperti ini,ummatnya yang tak lagi saling membantu dan menghormati orang yanglebih tua. Bertahun-tahun beliau berjuang demi ummatnya, caci makiselalu menjadi makanan pokok setiap hari, lemparan kotoran dan airliur selalu menjadi lauk pauknya. Hingga ajal dikerongkongan, beliaumasih sempat berkata "Ummati...ummati...ummati...". Ya Rasulullah maa'afkan kami.

Terlihat wanita itu bergerak menjauhiku. Dia mulai menatapku kembalidan berpamitan disertai dengan senyuman. Dia hendak turun karenatujuannya sudah dekat. Dan hingga akhir dia berjalan sampai dipintukendaraan, dia tidak bisa merasakan empuknya kursi kendaraan yang ianaiki. Ia terlihat berhati-hati menuruni tangga kendaraan. Laluterlihat ia berjalan tertatih sambil sesekali berhenti, mungkin rasacapek menjalar keseluruh tubuhnya karena dia lama berdiri dikendaraanhingga daya tahan tubuhnya mulai berkurang.

Salam,
Arana
acep.irwan@gmail.com
posted by arana (acep ruswana) @ 8:19 PM   0 comments
Thursday, April 21, 2005
Ketika "Cinta" dikalahkan Cinta

" Ma'af Dit, aku tak bisa ". Suasana seakan tak ada kehidupan, hanya terdengar suara lembut angin yang menusuk pori-pori kulitku. Bukan karena kesunyian yang membuatku terpaku, tapi....
" Dit, anterin ke gramedia yuk ? " suara itu telah menjemputku dari dunia lamunan.
" Eh....siang bolong gini bengong, entar kesambet loh ". Aku hanya membalas dengan senyuman. Hasan, dialah sahabat baruku yang kukenal
dikost ini yang telah membawaku pada perubahan. " Yuk ! " jawabku singkat.
Dalam perjalanan tak henti-hentinya Hasan menggodaku yang dari tadi hanya diam. " Lagi mikirin apaan sih Dit ?, ngelamun mulu ntar cepet tua loh......" mata melotot dan kerut keningnya adalah ciri khas ketika sedang meledekku. " Ga ada apa-apa " hanya senyuman yang terakhir dari kata itu.
" ooo......ya udah klo ga mau cerita ".
Dua bulan sudah kenanganku terkubur, namun kini entah kenapa muncul kembali setelah kemarin malam memimpikan dirinya. Kesunyian malam dan dinginnya malam tak lagi kurasakan karena hangatnya sinar rembulan mulai menemaniku malam itu untuk mengingat kenangan masa lalu. Entah mengapa mata ini sulit kupejamkan, seakan-akan didepanku hadir sesosok wanita yang tak asing bagiku. Dia melambaikan tangan dan bercanda ria dengan temannya.

Dialah gadis yang telah membangunkan cintaku. Sebut saja Rani, dia adalah sahabat Tari teman kampusku. Orangnya asik, mudah beradaptasi dengan teman baru walaupun aku sendiri agak canggung dengan yang namanya perkenalan dengan wanita. Perkenalan trus berlanjut, aku mulai memberanikan diri tuk mengajak dia jalan dan terkadang dia yang memintaku untuk mengantarkannya yang hanya sekedar mencari boneka. Kecanggunganku mulai sedikit hilang ketika dia mulai bercanda denganku dan mulai meminta pendapatku tentang masalah yang dihadapinya. Entah mengapa ketika bersamanya aku seakan-akan menemukan kebahagiaan yang selama ini telah hilang dalam hidupku. Ketika senja tiba, kuingin cepat menggantikan rembulan dengan matahari jika kubisa. Hari demi hari dia tak luput dari pikiranku, walaupun dia bukan satu kampus denganku tapi dia selalu menghubungiku via telpon dan itu membuat rasa rinduku terobati.


HPku berdering dan kuraih dengan malasnya, " siapa sih pagi-pagi gini ganggu orang yang lagi enak bermimpi " gumamku.
" Halo, Dit " suara itu tak asing lagi ditelingaku.
" Ya halo, ada apa Ran ? " kontan semangat dipagi itu timbul seketika mengalahkan sisa kantukku.
" Dit hari ini ada acara ga ? "
" mmm... kebetulan minggu ini ga ada acara, emang kenapa ? "
" Anterin aku jalan yuk ! " suara manjanya mulai muncul. Aku tersipu mendengar kata-kata itu dan tanpa pikir panjang kuterima ajakannya.
" Ayuk...yuk..., emang mo kemana ? "
" Semangat banget sih, anterin aku cari kado buat keponakanku trus anterin kerumahnya, mau ga ? "
" Boleh...buat kamu apa sih yang ga bisa " entah dari mana aku belajar bergombal terhadap wanita, padahal aku tipe cowo yang sulit berkomunikasi
dengan wanita.
" Ya udah nanti jam 09.00 jemput aku dirumah yah ! daaa... " tut...tut...tut...
Huuuu....... kurebahkan kembali badan ini dengan kegembiraan hati yang terpancar dipagi hari. Tak biasanya aku menyapa sang surya yang menebarkan
kehangatan sinarnya yang memberikan manfaat bagi tubuh manusia. Kegembiraan itu tak akan pernah kuhapus dalam memori kehidupanku.

Minggu itu aku menjemputnya sesuai permintaan dan aku mengantarkan mencari hadiah untuk keponakannya. Hampir semua toko mainan kami jelajahi dimall itu, tapi tak satupun mainan yang cocok untuk kami beli. Hampir kami putus asa, tapi keputusasaan itu hilang setelah kami melihat sebuah kotak yang berisi boneka yang paling disukai keponakannya. Tanpa ragu kami langsung menuju toko tersebut dan membelinya. Rasa capek, kantuk dan lelah telah menjadi satu, tapi perasaan itu entah mengapa terasa tak begitu pengaruh pada diriku. Sebelum pergi kerumah keponakannya, kami sempatkan untuk beristirahat dicafe dekat kami membeli boneka.
" Akhirnya setelah sekian lama kita mencari ........ fhuuuhhhh ! "
" Sok puitis deh ! " ledeknya sambil tersenyum kecil.
" Eh Ran mau makan apa ? "
" mmm .... aku ga makan deh " jawabnya singkat, mungkin rasa lelah telah menbuatnya kurang berselera makan.
" Ya udah klo gitu aku pesen minuman aja yah ? "
" Ok ! "
Sambil minum kami cerita dan saat itu entah mengapa hati ini mendapat dorongan untuk mengatakan sesuatu padanya.
" mmm......Ran, aku boleh mengatakan sesuatu ga ? tapi .... kamu janji jangan marah yah ? " rasa ragu mulai menyelimuti hatiku, tapi daya dorong ini semakin kuat.
" Tergantung " senyuman dibibirnya membuatku terpaku memandangnya. " Bicara aja lagi Dit, aku ga marah asal jangan bilang kalau kamu ga bisa anterin aku kerumah keponakanku, soalnya dari sini kan lumayan jauh dan aku udah capek "
" Bukan .... bukan itu, aku pasti anterin kamu kok ! "
" Trus apa dong ? jangan bikin Rani bingung deh "
" mmm ...... Ran mungkin aku konyol mengutarakan perasaan disaat seperti ini, tapi aku tidak bisa membendungnya lagi " ku beranikan tuk memulainya.
" maksudnya ? " kerut keningnya dan tatapan tajam tak luput dari penglihatanku.
" Ran ..... a ... aku mulai suka sama kamu " ku gigit bibir bawahku dan kutundukan pandangan. Tak berani kutatap wajahnya, aku takut melihat ekspresi
wajahnya setelah aku mengatakan hal itu.
Lama tak terjadi kontak bicara diantara kami. Tapi tak lama kemudian .....
" Dit, aku ngerti perasaan kamu, aku jadi merasa bersalah terlalu berlebihan dalam bergaul denganmu sehingga kamu berpikir bahwa selama ini penerimaan ajakanmu dan permintaan untuk mengantarku adalah atas dasar rasa suka padamu. Aku menganggap kamu sebagai sahabatku yang baik yang telah lama kucari selama ini. Kamu mau mendengarkan keluhanku dan menasehatiku. Jadi tak mungkin aku menerimamu sebagai pacarku, aku tak mau kehilanganmu Dit, sebab didalam pacaran ketika rasa cinta telah pudar maka kebencianlah yang berperan dan hal itu tak mau terjadi pada hubungan kita Dit. Jadi aku mohon padamu jadilah sahabatku bukan pacarku. Ma'afkan aku Dit, kamu bisa ngertikan perasaanku ? " penjelasan itu diakhiri dengan senyuman manisnya. Kuberanikan menatap wajahnya walaupun jeritan dan tangisan hati silih berganti. Kubalas senyumannya dan kuberanikan mengomentari.
" Ya sudah kalau itu memang pendapatmu, aku kan coba tuk nerimanya " kupaksakan bibir ini untuk senyum.
" Eh Ran udah sore nih, ntar kemaleman lagi kerumah ponakanmu " cepat kuganti pokok pembicaraan agar rasa sedih ini tak berlarut.
" Kamu ga marah kan Dit ? " dia menarik lenganku yang sudah siap berdiri. Kuanggukan kepalaku dengan senyuman yang berat dibibir.
Dalam perjalanan kerumah keponakannya hingga kembali kerumahnya tak satu katapun aktif keluar dalam bentuk pertanyaan ataupun canda. Hanya sedikit komentar dari setiap kata-kata yang dia berikan.

Kuayunkan langkahku menuju pintu kamar kostku. Berat, bukan berarti karena aku lelah atau rasa kantukku, tapi setelah kejadian siang tadi kebahagianku
sedikit mulai hilang. Kulihat sebelah kamarku ada kehidupan diwarnai terangnya lampu. " Ada pendatang baru " gumamku tapi tak kupedulikan.
" Assalamu 'alaikum " seketika aku berbalik dengan rasa kaget karena aku sedang mencari kunci kamarku diselingi dengan bayangan-banyangan kejadian siang tadi.
" Ya....Waalaikum salam "
" Ma'af kalau saya mengagetkan kamu, saya Hasan orang baru disini, salam kenal ma'af nama kamu siapa ? "
" nama saya Adit, ma'af yah saya capek jadi nanti aja perkenalannya "
" Ma'af kalau saya menganggu " Senyuman dibibirnya menggambarkan ketulusan hati.
Tanpa ragu ku buka pintu dan segera kututup. Ada sedikit perasaan tak enak pada Hasan karena pembicaraanku tadi yang kurasakan kurang enak didengar, tapi aku membuang perasaan bersalah tersebut. Malam semakin larut tapi kedua bola mataku tak kunjung juga mengantarku pada alam sana. Terdengar suara kehidupan dalam kamar Hasan. Dengan penuh penasaran kuberanikan mengetuk pintu kamarnya sekalian aku mau minta ma'af.
" Ada apa Dit ? " senyuman itu begitu sejuk dipandang.
" mmm... ga, kamu belum tidur San ? "
" Belum, aku tidak bisa tidur malam ini, entah mengapa mungkin karena aku masih baru kali yah dengan suasana baruku ini "
" ooo...." jawabku singkat
" Ngomong-ngomong ada apa nih Dit ? emangnya kamu juga ga bisa tidur ? "
" Aku mau minta ma'af karena jawaban perkenalan tadi tidak mengenakan "
" Ga apa-apa Dit, aku ngerti kok kamu kan tadi baru datang pasti rasa lelahmu yang membuat kamu bersikap demikian "
" Wah nih orang sabar banget, kebijakan dalam berkata bikin kagum setiap orang yang mendengarkan " gumamku dalam hati.
Akhirnya aku ngobrol malam itu mulai dari perkenalan sampai dengan pengalaman.
Setelah kejadian malam itu aku semakin dekat dengan Hasan. Tak jarang aku minta pendapat tentang masalah yang sedang kuhadapi. Setiap katanya mengandung makna yang begitu indah bagaikan penyair yang menyampaikan risalah lewat kata-kata bijaknya.
" Dit, rasa cinta itu fitrah. Setiap manusia yang normal pasti akan merasakannya, tapi tergantung kita dalam pengembangan cinta tersebut. Cinta kita kepada lawan jenis atau hobby kita boleh-boleh saja, tapi jangan sampai rasa cinta tersebut mengalahkan cinta kita padaNya "
" Sulit San, hati ini sudah terlanjur suka sama dia. Sekarang alur hidupku saja entah kan kubawa kemana, semuanya serba kebingungan dan saat kuambil keputusan selalu saja kutemui jalan buntu "
" Dit, cinta itu tak harus memiliki dan cinta tak bisa dipaksakan. Jika kita memang mencintai seseorang, kita kan merasa bahagia jika dia menemukan kebahagiannya, walaupun kebahagian itu tidak ditemukan pada diri kita, kita harus ikhlas. Dit, sekarang mengadulah kepada Allah. Mohon petunjukNya untuk membimbing kebimbangan dalam menjalani hidupmu dan jangan terlalu dipikirkan sebab kamu tau sendiri kan bahwa kamu punya penyakit kanker " Hasan memang benar penyakit yang kuderita selama ini tak lagi kupikirkan. Padahal entah esok atau lusa bahkan mungkin hari ini jika Allah berkenan mengambil nyawa ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Kuingat pesan Hasan yang masih terngiang dalam benakku " Sesungguhnya setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian, jadikanlah ini salah satu prinsip dalam menjalani hidup agar selalu ingat padaNya ". Bergetar seketika seluruh tubuhku entah apa yang terjadi padaku saat itu. Tanpa pikir panjang ku basuh setiap bagian tubuhku dengan air wudhu untuk mengadukan masalah ini pada Penguasa alam semesta.
" Ya Allah, betapa besar dosaku selama ini. Cinta yang kau berikan telah aku salah artikan. Begitu halusnya iblis membisikan arti cinta itu hingga kabut cinta duniawi telah menghalangi arti sebenarnya cinta. Ya Allah, andaikan cintaku padaMu sebesar cintaku padanya bahkan lebih dari itu. Sungguh aku sangat menginginkan hal itu sebelum Kau memanggilku. Ya Allah jadikan cintaku padaMu begitu besar hingga ku tak takut akan kematian bahkan kematian menjadikan gerbang menuju kerinduan menghadapMu " tak terasa air mata penyesalah telah membasahi pipi dan sajadah. Hatiku sedikit lebih sejuk dan tenang dan tak terasa keseimbangan tubuhku mulai tak stabil dan akhirnya aku tersungkur dalam sujud.

" Dit, berangkat kuliah ga ? " Berulang kali Hasan menanggil Adit, tapi tak ada sahutan dari dalam. Hasan memberanikan diri untuk masuk kekamar Adit dan ternyata pintunya tidak terkunci. Dia melihat Adit dalam keadaan sujud dan dia berpikir mungkin dia kesiangan shalat subuhnya. Setengah jam sudah dia menunggu dikasurnya, tapi Adit masih dalam keadaan bersujud. Hasan mulai penasaran dan mulai mendekati Adit, dia coba sedikit menggoncangkan tubuh Adit dan......." Astagfirullah.......Dit....Dit.....Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, insyaAllah kau telah mendapatkan arti cinta yang sebenarnya. Semoga kau tenang diSisiNya ".

Wallahu'alam bisshowab
Sukron,
Arana
posted by arana (acep ruswana) @ 4:50 AM   1 comments

Waktu Jakarta
About Me


Name: arana (acep ruswana)
Home: Cengkareng City, Jakarta, Indonesia
About Me: Ketika hidup bermasalah, dan keinginan susah dijawab, itu tanda-tanda bahwa Allah rindu kepada kita. Allah ingin kita kembali kepada-Nya, mendekati diri-Nya, dan memohon kepada-Nya. Manfaatkan energi permasalahan dan kesulitan, untuk menjadi bahan bakar yang efektif untuk mendekatkan diri kita kepada Allah. (www.wisatahati.com)

Inilah Karyaku
Links

    SundaBlog

Pengunjung
    World Web DirectoryFree Hit Counter
Komentator

Koleksi Bunga
=== Shoutul Harokah === )(.:: Bangkitlah Negriku ::.)(

Website and all contents © Copyright 2008 by .:: ARANA ::.